Inflasi Melonjak, Investor Minta The Fed Kerek Suku Bunga ke 5,25 Persen
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan Chief Investment Officer Franklin Templeton Fixed Income, Sonal Desai, saat APAC Investor Forum 2022. Dia menjelaskan kondisi inflasi terjadi sangat kuat daripada yang diharapkan oleh investor pasar keuangan.
"Turun dari puncaknya sebesar 9-10 persen secara relatif lebih mudah karena lonjakan harga energi memudar, namun menurunkan inflasi hingga ke level 2 persen akan jauh lebih sulit," jelasnya melalui keterangan resmi, Rabu (23/11).
Sonal melanjutkan, untuk meredam lonjakan inflasi, dia menyarankan The Fed menaikkan kembali suku bunga dan harus diikuti oleh bank sentral negara lain untuk menjaga posisi moneter lebih ketat.
Adapun terakhir, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) untuk yang keempat kalinya menjadi 3,75 persen hingga 4 persen pada Rabu malam (2/11). Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak Januari 2008 silam.
ADVERTISEMENT
"The Fed harus membawa tingkat suku bunga dana fed hingga sekitar 5,25 persen dan mempertahankannya di angka tersebut cukup lama agar ekonomi bisa mengalami cooling down," kata Sonal.
"Melihat kelas-kelas aset yang lebih berisiko seperti imbal hasil yang tinggi dan pasar negara berkembang, dalam beberapa kuartal mendatang saya yakin pemilihan sekuritas selektif akan memungkinkan investor mendapatkan keuntungan dari imbal hasil yang dalam banyak kasus berada di atas 10 persen," tutur Sonal.
Indonesia Punya Peluang Besar Investasi Pendapatan Tetap
Sementara itu, Portfolio Manager Western Asset Management, Desmond Soon, mengatakan investasi pendapatan tetap untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade menawarkan pendapatan yang sangat besar dan hasil yang sangat menarik akhir-akhir ini.
ADVERTISEMENT
Bahkan, dalam hal peluang investasi, Desmond menilai Indonesia dan India menonjol sebagai dua tempat utama yang harus diamati di dunia yang sedang berkembang.
"Obligasi pemerintah 10 tahun Indonesia menunjukkan imbal hasil 7 persen, dan Rupiah adalah salah satu mata uang teratas tahun ini," ungkap dia.
Dia menambahkan, obligasi India juga nampak menarik, dengan imbal hasil dari obligasi 10 tahun pemerintah India mencapai 7,25 persen saat India bertahan setelah pandemi COVID-19 dan kepercayaan konsumen terhadap negara ini tinggi.
"Penting untuk menjadi bahan pertimbangan bahwa banyak negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan akan mendapatkan keuntungan dari strategi diversifikasi China Plus One," pungkas Desmond.