Ironi Penerbit: Tercekik di Tengah Pandemi

31 Mei 2020 13:05 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengunjung membaca buku paduan soal CPNS yang dijual di Pasar Kenari, Jakarta (30/11).  Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjung membaca buku paduan soal CPNS yang dijual di Pasar Kenari, Jakarta (30/11). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Awan gelap menggelayuti langit industri perbukuan di momen Hari Buku Nasional 17 Mei lalu. Pademi COVID-19 membuat dunia penerbitan buku kehilangan gairah.
Sejak pembatasan sosial berskala besar diterapkan di sejumlah daerah di Indonesia, bisnis penjualan buku lesu. Pemasukan hampir semua penerbit anjlok drastis.
Komunitas Bambu—penerbit buku bertema sejarah dan kebudayaan—misalnya harus mengalami penyusutan omzet hingga 40 persen. Penerbit yang 22 tahun malang melintang di dunia perbukuan itu harus jor-joran menawarkan diskon melalui penjualan daring.
“Kami berikan pancingan dengan diskon yang besar banget, bahkan sampai melewati batas modal dasar,” kata JJ Rizal, pendiri Komunitas Bambu.
Namun, kiat itu masih sulit mengatrol pemasukan. Pemasukan melalui saluran daring, menurut Rizal, tidak bisa mengejar 60 persen penjualan di masa normal.
Pilihan iming-iming diskon besar juga punya konsekuensi jangka panjang. Menurut hitung-hitungan Rizal, Komunitas Bambu akan kesulitan mencetak buku lagi.
Tapi fokus mendesak saat ini adalah mempertahankan eksistensi. “Yang penting kita ada duit supaya survive,” ujar Rizal.
Ketika banyak toko buku tutup, pemasukan para penerbit praktis seret. Selama ini, toko buku berkontribusi terhadap 50 persen pemasukan penerbit.
Kondisi pasar yang demikian membuat Rizal mengubah strategi perusahaan. Peluncuran buku-buku baru terpaksa ditunda. Sejak Januari-Mei, Komunitas Bambu menerbitkan dua buku baru dari rencana 18 judul di tahun ini.
Pertimbangannya, kata Rizal, Komunitas Bambu masih mengandalkan pemasaran langsung melalui acara-acara offline. Promosi melalui saluran digital belum cukup berpengaruh untuk meningkatkan antusiasme pembeli.
“Offline marketing penting. Orang denger langsung tuh mempengaruhi. Tapi kalau sosial media, pengalaman kami enggak cespleng,” kata Rizal.
Pemerhati Sejarah Jakarta dan pendiri Penerbit Komunitas Bambu, JJ Rizal . Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Pandemi COVID-19 tak cuma menggilas penerbit kecil seperti Komunitas Bambu. Penerbit besar juga meriang dihantam pandemi.
Kelompok penerbit Mizan mengalami penurunan omzet besar-besaran. Haidar Bagir, Presiden Direktur Kelompok Penerbit Mizan, mengungkapkan perusahaannya kehilangan 60 persen pemasukan dibanding di waktu normal.
Tetapi Mizan cukup beruntung punya basis komunitas pembaca yang kuat. Terlebih, tiga tahun belakangan mereka telah berinvestasi memperkuat promosi daring.
Ketika pandemi menerjang, Mizan memanfaatkan saluran promosi itu untuk berjualan. Strategi itu dikemas dengan diskon besar untuk buku-buku terbitan lama.
“Penjualan kita itu, dalam keberhasilan kita dengan promosi dan penjualan online, maksimum hanya mencapai 40 persen dari pasar normal,” kata Haidar.
Untuk bertahan dengan omzet sejumlah itu, Mizan harus mengencangkan ikat pinggang. Salah satu caranya dengan memotong gaji petinggi Mizan sebesar 20 persen.
Produksi buku juga dikurangi. Mei lalu, Mizan sama sekali tidak menerbitkan satu buku pun. Padahal biasanya setiap bulan penerbit ini meluncurkan 50 judul buku baru. Tapi di masa seperti sekarang, ia tak muluk-muluk mengejar untung.
“Kami hanya bicara mengejar cash flow supaya aman, sambil berharap (pandemi) ini bisa berlalu cepat,” kata Haidar.
Suasana di Big Bad Wolf (BBW) 2020 di Indonesia Convention dan Exhibition (ICE) BSD Hall 7 - 10, Minggu (8/3). Foto: Prameshwari Sugiri/kumparan
Gejala yang sama terjadi di semua penerbitan. Berdasarkan survei Ikatan Penerbit Indonesia, 95 persen penerbit mengalami penurunan omzet. Bahkan, penjualan 58 persen penerbit merosot 50 persen. Cuma 4,1 persen penerbit yang penjualannya tak terganggu secara signifikan akibat pandemi.
Menurut Rosidayati Rozalina, Ketua Umum IKAPI, mayoritas penerbit di bawah IKAPI hanya mampu bertahan 3-6 bulan ke depan. Pada 20 April lalu, IKAPI telah mengusulkan sejumlah insentif kepada pemerintah agar industri perbukuan tetap bertahan.
“Pembukaan keran pengadaan buku, pengurangan pajak, subsidi kertas, bantuan permodalan, dan perhatian atas masalah pembajakan buku,” Rosidayati menjabarkan.
Sejak April lalu, Kementerian Keuangan sudah melakukan relaksasi pajak bagi industri kreatif, termasuk penerbitan. Sementara itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif membuat program “menulis dari rumah” untuk mendorong produktivitas bagi penulis.
“Kami ingin melihat snowball effect-nya. Kalau toh nanti pasca-COVID itu akan jadi catatan sejarah; karya besar biasanya lahir dari periode krisis,” kata Mohammad Amin Abdulah, Pelaksana tugas Direktur Industri Musik, Seni Pertunjukan, dan Penerbitan Kemenparekraf.
Masalahnya, langkah pemerintah belum dirasakan dampaknya oleh para penerbit. Haidar mencontohkan banyak lini dalam penerbitan yang masih dikenai pajak.
“Pendapatan penulis kecil, masih kena pajak. Kertas juga pajaknya tinggi, PPN masih. Padahal kalau di sebagian negara lain, itu tidak hanya dihilangkan, tapi penerbit juga dikasih subsidi,” kata Haidar.
Pengunjung memadati lokasi pameran buku Big Bad Wolf di Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (27/06). Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Pemerintah harus berperan nyata bila ingin serius mempertahankan industri perbukuan, sebab bukan tak mungkin banyak penerbit akan gulung tikar beberapa bulan ke depan.
Bila hal itu terjadi, Haidar khawatir perkembangan dunia literasi akan terancam. Tingkat minat baca penduduk Indonesia berada di urutan 60 dari 72 negara yang diriset Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada 2017.
Apalagi jumlah terbitan buku per kapita di Indonesia sudah sangat rendah. Rasionya bisa lebih turun lagi bila penerbit-penerbit kehabisan napas.
“Budaya membaca buku yang memiliki kedalaman, komprehensif, itu menurut saya akan terkikis lebih jauh,” Haidar mengutarakan kecemasannya.
Laura Bangun Prinsloo, Mantan Ketua Komite Buku Nasional, juga menyiratkan ketakutan yang sama. Bangsa Indonesia akan rugi besar bila industri penerbitan ambruk.
“Apa yang terjadi dengan peradaban bangsa setelah masa pandemi ini? Bagaimana pun juga buku itu produk budaya, pemerintah mesti step in,” tegas Laura.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.