Jadi Pesaing Nikel, Bisakah Indonesia Kembangkan LFP untuk Baterai EV?

23 Januari 2024 16:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo usai Groundbreaking Pabrik Baterai Kendaraan Listrik Pertama di Asia Tenggara, di kawasan Industri Kerawang, Jawa Barat, Rabu (15/9). Foto: Agus Suparto/Istana Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo usai Groundbreaking Pabrik Baterai Kendaraan Listrik Pertama di Asia Tenggara, di kawasan Industri Kerawang, Jawa Barat, Rabu (15/9). Foto: Agus Suparto/Istana Presiden
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) berbasis lithium ferrophosphate (LFP) menjadi sorotan usai disinggung oleh Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka saat debat Pilpres 2024 keempat, Minggu malam (21/1).
ADVERTISEMENT
LFP digadang-gadang menjadi pesaing nikel atau Nickel Manganese Cobalt Oxide (NMC) sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Sebab, perusahaan global seperti Tesla disebut sudah melirik LFP sehingga mengancam permintaan nikel yang marak diproduksi di Indonesia.
Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi, Nurul Ichwan, menjelaskan Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk mengembangkan LFP dan NMC di industri hilir, dengan potensi permintaan yang terbuka lebar.
Meskipun demikian, dia mengakui pasar baterai kendaraan listrik di dalam negeri kini masih rendah dan belum semaju negara lain. Dia pun memprediksi permintaan akan tumbuh setelah tahun 2035.
"Potensi pengembangan industri kendaraan listrik yang menggunakan LFP dan NMC masih punya kemungkinan, saya lihat 2040 atau 2035 masih bisa tumbuh dua-duanya," tutur Nurul saat ditemui di Hotel Pullman Thamrin, Selasa (23/1).
ADVERTISEMENT
Nurul menyebutkan, LFP memang tengah menjadi sorotan para pengusaha kendaraan listrik, namun belum tentu bisa 100 persen menggerus permintaan nikel yang masih marak di seluruh dunia.
Soal pengusaha kendaraan listrik sudah ramai-ramai beralih kepada LFP salah satunya disebutkan oleh Co-captain Timnas AMIN, Thomas Lembong. Menurut Nurul, masih banyak kemungkinan bisa terjadi di pasar baterai ini.
"Kalau disampaikan para ahli, seperti Pak Tom Lembong kah, dan ahli lain itu ada benarnya, tapi belum tentu 100 persen benar karena ada sesuatu yang belum terjadi ke depan karena at the end of the day demand akan memengaruhi itu semua," tegas dia.
Dia melanjutkan, kelebihan pasokan (oversupply) nikel memang sedang terjadi dan menyebabkan harganya anjlok. Namun, kata dia, masih terbuka potensi peningkatan permintaan seiring dengan transisi masyarakat dunia menuju kendaraan listrik.
ADVERTISEMENT
"Di Kementerian Investasi kita memang menavigasi diri kita sendiri secara cermat untuk bermanuver di market yang sedang dinamis ini," lanjutnya.
Untuk perkembangan LFP sendiri, Nurul menyebutkan Indonesia tidak memiliki bahan baku yang memadai, seperti lithium yang harus diimpor. Sementara ferro (Fe) atau besi tersedia namun tidak terpusat di satu tempat.
"Kita lithium tidak punya, kemudian untuk Fe besinya kita punya tapi kita juga tahu tidak ada yang terkonsentrasi dalam jumlah besar dalam satu tempat, scattered biasanya kecil-kecil, bukan berarti kita tidak punya," jelas Nurul.
Kendati begitu, Nurul menegaskan Indonesia masih konsisten mengembangkan ekosistem kendaraan listrik agar lebih banyak investor tertarik menggelontorkan dananya, meskipun tidak harus mempunyai bahan baku LFP.
"Entah mereka kalau bikin baterai LFP prosesnya boleh saja dibikin di Indonesia karena berdekatan dengan industrinya, kalau ekosistem baterai sudah ada di indonesia EV-nya juga akan muncul di Indonesia," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Kalau market terbesar di ASEAN adalah Indonesia mereka punya alasan untuk memilih Indonesia sebagai hub untuk industri mereka sekalipun pakai LFP," pungkas Nurul.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan LFP adalah buah dari upaya pengembangan dan riset alternatif lain untuk mengantisipasi cadangan nikel yang menipis.
"Kalau tiba-tiba enggak ada nikelnya, maka nanti ya harga semakin tinggi terus susah, nanti keberlanjutan baterai bagaimana, kan teknologi terus berkembang, dicari teknologi apa pun yang bisa sebagai alternatif dan bisa lebih murah," katanya.
Djoko membuka kemungkinan LFP bisa dikembangkan di Indonesia. Namun, perlu ada keseriusan dari pemerintah untuk memastikan investasi dan permintaan baterainya kelak.
"Ini perlu investasikan, perlu keseriusan, perlu dikaji supaya demand-nya dan ketersediaannya industrinya juga, karena harus dimulai dari demand, kalau enggak ada demand untuk apa dibangun, kalau demand-nya tinggi di dalam negeri atau bisa ekspor ya why not. kita punya bahan bakunya," tutupnya.
ADVERTISEMENT