Jalan Berliku Sri Mulyani Memburu Pajak Google Cs, Berujung Kegeraman Trump

4 Juni 2020 16:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbincang dengan Kepala Direktorat Jenderal Pajak Suryo Utomo di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbincang dengan Kepala Direktorat Jenderal Pajak Suryo Utomo di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Mulai 1 Juli 2020, tarif berlangganan layanan digital seperti Google, Facebook, netflix, zoom, spotify, dan games online akan lebih mahal. Sebab, pemerintah menetapkan mulai memungut pajak untuk produk digital tersebut.
ADVERTISEMENT
Aturan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas produk digital yang berasal dari luar negeri tersebut, akan dilakukan oleh pelaku usaha PMSE yaitu pedagang atau penyedia jasa luar negeri, penyelenggara PMSE luar negeri, atau penyelenggara PMSE dalam negeri yang ditunjuk Menteri Keuangan melalui Ditjen Pajak.
Teknisnya, pelaku usaha PMSE yang memenuhi kriteria nilai transaksi atau jumlah traffic tertentu dalam 12 bulan, ditunjuk Menteri Keuangan melalui Ditjen Pajak sebagai pemungut PPN.
Sementara pelaku usaha yang memenuhi kriteria tapi belum ditunjuk sebagai pemungut PPN, dapat menyampaikan pemberitahuan secara online kepada Ditjen Pajak.
ADVERTISEMENT
Sama seperti pemungut PPN dalam negeri, pelaku usaha yang ditunjuk wajib menyetorkan dan melaporkan PPN. Penyetoran PPN yang telah dipungut dari konsumen paling lama akhir bulan berikutnya. Sedangkan pelaporan dilakukan secara triwulan paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir.
Netflix. Foto: REUTERS/Dado Ruvic
Jalan Panjang Berburu Pajak Digital
Rencana Sri Mulyani memungut pajak digital sebenarnya sudah lama disiapkan. Setidaknya, isu mengenai pajak Google dan Facebook sudah muncul sejak tahun 2016.
Selain atas dasar kesetaraan karena layanan digital tersebut beroperasi dan meraup untung di Indonesia, potensi pajak digital dari Google atau Facebook juga cukup besar.
Potensi penerimaan pajak dari raksasa digital itu didapat dari penghitungan total konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari luar negeri yang masuk ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dari data yang dihimpun pada tahun 2018, total konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari luar negeri mencapai Rp 93 triliun.
Andai barang dan jasa itu dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sebesar 10 persen, maka total penerimaan yang dikantongi Indonesia Rp 9,3 triliun.
Studi oleh Google-Temasek, pada 2025 konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari luar negeri ke Indonesia mencapai Rp 277 triliun. Sehingga PPN yang bisa diraup Rp 27 triliun.
Bikin Geram Donald Trump
Presiden Amerika Serikat Donald Trump Foto: Reuters/Jonathan Ernst
Tak hanya Indonesia, sejumlah negara lain juga ternyata gencar memburu pajak dari layanan digital. Sri Mulyani mencontohkan beberapa negara yang telah menerapkan aturan sendiri untuk pajak digital, seperti Inggris atau Prancis.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain, kelompok negara 20 besar atau G20 belum memutuskan soal pajak digital. Tapi Pemerintah menegaskan tetap mengenakan tarif pajak mulai bulan depan. Sri Mulyani mengatakan, pihaknya akan tetap mengejar pajak Google Cs melalui pendekatan yang sudah ada di Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan.
Langkah sejumlah negara termasuk Indonesia itu, ternyata membuat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, geram. Kepala Perwakilan Dagang AS atau United State Trade Representative (USTR), Robert Lighthizer, menyebut pemajakan semacam itu sebagai upaya mengeruk pendapatan lokal dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara global. Termasuk korporasi di bawah Alphabet Inc, seperti Google dan Facebook.
"Presiden Trump khawatir bahwa banyak mitra dagang kami mengadopsi skema pajak yang dirancang untuk menargetkan perusahaan kami secara tidak adil," kata Lighthizer dalam sebuah pernyataan yang dilansir Reuters, Rabu (3/6).
ADVERTISEMENT
"Kami siap untuk mengambil berbagai tindakan yang sesuai untuk membela bisnis dan pekerja kami terhadap segala diskriminasi semacam itu," tandasnya.