Jokowi Cabut Ribuan Izin Tambang, WALHI Desak Pemerintah Pulihkan Hak Rakyat

8 Januari 2022 11:46 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi WALHI di Monas. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aksi WALHI di Monas. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Kamis (6/1) lalu, Presiden Jokowi telah mencabut 2.078 izin perusahaan tambang, 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektar, dan 137 izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan seluas 34.448 hektar. Alasannya, karena mereka tak mempergunakan izin yang diberikan dengan benar.
ADVERTISEMENT
Langkah ini mendapat apresiasi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Lembaga non pemerintahan ini meminta pencabutan ribuan izin usaha tambang ini harus menjadi momentum menyelesaikan konflik agraria yang terus terjadi di Indonesia.
Pengkampanye Hutan dan Kebun, Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, mengatakan untuk area kehutanan yang izinnya dicabut, pemerintah harus memastikan pemulihan ekosistem hutan serta mengembalikan hak rakyat atas kelola wilayah mereka.
“Jika perusahaan sektor kehutanan tersebut selama ini berkonflik dengan rakyat, maka negara harus memastikan pengakuan serta pengembalian wilayah kelola rakyat tersebut kepada rakyat” kata Uli Arta dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/1).
Pengkampanye Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwan, mengatakan pemerintah harus memastikan mencabut seluruh IUP di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang terbukti memicu konflik dengan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatannya, pada 2018 lalu terdapat 1.895 IUP berada di kasawan pesisir yang merugikan lebih dari 35 ribu keluarga nelayan dan 6.081 desa pesisir. Sementara pada 2019 tercatat 164 konsesi pertambangan minerba yang tersebar di 55 pulau-pulau kecil.
Presiden Joko Widodo menyampaikan konferensi pers soal IUP, HGU, HGB di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (6/1/2022). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
“Keberadaan tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil akan mempercepat krisis ekologis dan kehancuran kehidupan masyarakat di dua kawasan penting ini, setelah sebelumnya hancur oleh dampak buruk krisis iklim,” ujarnya.
Konflik agraria seperti ini memang sering terjadi di Indonesia. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2021 setidaknya terjadi 207 kasus yang berdampak pada 198.895 kepala keluarga. Sementara pada tahun 2020, telah terjadi 241 kasus yang berdampak pada 135.337 kepala keluarga.