Jokowi Coret Abu Batu Bara dari Limbah B3, Tarif Listrik Harusnya Turun?

23 Maret 2021 18:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar Unit 4 di Balaraja, Tangerang. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar Unit 4 di Balaraja, Tangerang. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencoret abu batu bara (fly ash bottom ash/FABA) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
ADVERTISEMENT
Tujuan utama kebijakan ini agar limbah batu bara dari PLTU bisa dimanfaatkan menjadi semen, batako, paving block, dan produk konstruksi lainnya yang bersifat ekonomi.
Di samping itu, perubahan pengelolaan FABA PLTU juga menguntungkan PT PLN (Persero) dan produsen listrik swasta. Biaya Pokok Produksi (BPP) tenaga listrik bisa berkurang, sebab penghematannya mencapai Rp 2 triliun per tahun bagi PLTU berkapasitas besar.
Dengan berkurangnya BPP listrik akibat aturan ini, apakah tarif listrik juga turun?
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, dengan perubahan klasifikasi FABA seharusnya biaya pengelolaan dan transportasi bisa diturunkan seperti yang disampaikan pengusaha yaitu Rp 2 triliun per tahun.
"Tapi jumlah ini sebenarnya tidak terlalu besar hingga berdampak pada pengurangan BPP. Penghematan biaya ini kalau buat PLN bisa sedikit mengurangi biaya perusahaan dan menambah margin saja," kata dia kepada kumparan, Selasa (23/3).
PLTU Suralaya. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Fabby mengatakan, meski ada penghematan yang bisa dikantongi produsen listrik, tapi dalam BPP, komponen biaya terbesar adalah biaya bahan bakar. Sementara biaya pengolahan FABA hanya mengambil porsi yang sangat kecil dari struktur biaya pembangkitan tenaga listrik.
ADVERTISEMENT
Secara terpisah, Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro bisa saja pemerintah menurunkan tarif listrik pelanggan karena kebijakan ini. Namun, harus tetap memperhatikan nilai kewajaran bisnisnya.
"Untuk PLN opsinya ada dua: dapat dengan menurunkan tarif listrik pelanggan atau pemerintah mengurangi alokasi subsidinya. Namun untuk IPP (produsen swasta) tentu harus ada penyesuaian tarifnya. Penurunan tentu harus tetap memperhatikan nilai kewajaran bisnisnya," ucapnya kepada kumparan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengakui, dengan dicoretnya limbah batu bara PLTU dari limbah B3 bakal mengurangi beban biaya pengelolaan dan pengangkutan produsen listrik.
Dengan begitu, biaya pokok produksi (BPP) listrik pun berkurang. Namun, hal itu tidak serta-merta menurunkan tarif tenaga listrik di tingkat konsumen.
ADVERTISEMENT
"Dengan sendirinya biaya (BPP) menjadi berkurang dengan dikeluarkannya FABA dari limbah B3. Artinya secara overall operating maintenance akan turun. Tapi kalo dampak ke tarif listrik kayaknya terlalu jauh," kata Rida dalam konferensi pers dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Senin (15/3).
Dirjen Ketenagalistrikan Rida Mulyana melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (10/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Rida menyebut penurunan BPP listrik akan cukup signifikan karena aturan baru Jokowi ini, tapi dia tidak menyebutkan secara rinci. Tapi, dia tidak bisa menjamin hal itu bisa menurunkan tarif tenaga listrik PLN ke konsumen.
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2020 tentang Efisiensi Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero), beberapa indikator BPP tenaga listrik yang paling besar adalah biaya pembangkitan dan bahan bakar. Lalu, biaya jaringan tenaga listrik, dan biaya operasi lainnya.
ADVERTISEMENT
BPP listrik juga dipengaruhi nilai tukar rupiah, harga minyak mentah dunia, dan susut jaringan (losses).
Berdasarkan catatan Rida, BPP listrik sepanjang 2020 mengalami penurunan hingga Rp 41,91 triliun menjadi Rp 317 triliun dari perkiraan awal Rp 359 triliun. Turunnya BPP karena ada penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp 37,51 triliun menjadi Rp 109,16 triliun.