Jokowi Minta Genjot Perjanjian Dagang, Begini Saran Pengusaha

30 Oktober 2019 11:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Dewan Pembina IBCWE, Shinta Widjaja Kamdani dalam acara CEO Talks di The Sultan Hotel, Jakarta, Rabu (10/4). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Dewan Pembina IBCWE, Shinta Widjaja Kamdani dalam acara CEO Talks di The Sultan Hotel, Jakarta, Rabu (10/4). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mempercepat penyelesaian perjanjian dagang dengan berbagai negara yang disampaikan dalam rapat kabinet perdana, Kamis (24/10).
ADVERTISEMENT
Menurut Jokowi, banyak produk ekspor Indonesia yang kalah saing karena ketiadaan perjanjian dagang. Misalnya di industri tekstil, produk asal Vietnam bisa lebih mudah masuk ke Uni Eropa karena sudah memiliki perjanjian dagang.
Menyoal langkah Jokowi untuk menggenjot ekspor melalui perjanjian dagang tersebut, pengusaha angkat bicara.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, kunci dari keberhasilan perjanjian perdagangan ialah industrialisasi di Indonesia harus berjalan optimal.
“(Sehingga) Yang akan tercipta adalah economic of scale yang maksimal bagi industri-industri di Indonesia untuk menjadi sangat kompetitif di level global,” ujar Shinta ketika dihubungi kumparan, Rabu (30/10).
Kapal tunda melintas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (14/8). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Dalam perjanjian dagang, ia menekankan agar Indonesia tak hanya berfokus mengebut kuantitas. Sebaliknya, harus selektif terhadap keuntungan produktif yang bisa didapatkan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengusaha lokal menurutnya juga mesti giat melakukan berbagai reformasi ekonomi domestik agar bisa makin kompetitif saat perjanjian perdagangan dibuka.
“Untuk menjadi bagian dari global supply chain mereka dan menjadi kompetitif di pasar-pasar global,” kata dia.
Hal lain yang tak kalah penting, menurut Shinta, ialah strategi Indonesia untuk membidik peluang-peluang yang berasal dari mitra perdagangan non-tradisional. Seperti, Chile, Pakistan, Mozambique, hingga Iran. Pasalnya, negara-negara tersebut memiliki potensi ekonomi yang baik karena bisa menjadi pasar produk-produk Indonesia.
“Karena umumnya mereka tidak punya cukup banyak industri untuk mendukung kebutuhan ekonomi mereka sendiri sehingga kita menciptakan diversifikasi pasar ekspor sesegera mungkin,” tuturnya.
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (14/8). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Berbagai hambatan terhadap perdagangan Indonesia ke luar atau sebaliknya pun, menurutnya perlu menjadi perhatian pemerintah. Bukan hanya soal tarif atau kebijakan-kebijakan teknis soal standar barang dan jasa. Namun juga peluang-peluang kebocoran perdagangan.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja, seperti penyelundupan, ketidaksesuaian dokumen impor untuk klaim privilege FTA atau transshipment, kontrol terhadap praktik persaingan dagang yang tidak sehat seperti dumping dan subsidi.
Selain itu, Shinta menambahkan, Indonesia juga perlu memanfaatkan fasilitas-fasilitas perdagangan termasuk bantuan dari perwakilan Indonesia di luar negeri untuk melakukan lobby di pasar tujuan, melakukan strategi branding dan marketing dengan pelaku usaha dan lainnya.
“Intinya pemerintah jangan hanya fokus pada penyelesaian perjanjian perdagangan just for the sake of finishing the agreement. Pelaku usaha Indonesia ingin perjanjian-perjanjian dagang yang berkualitas yang betul-betul menciptakan economic advantage,” tandasnya.
Hingga tahun 2020, Kemendag menargetkan merampungkan setidaknya 12 perjanjian perdagangan dengan berbagai negara.