Jokowi Sebut Indonesia Sudah Tak Impor Avtur, Benarkah?

16 Agustus 2019 14:02 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato dalam sidang tahunan RAPBN. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato dalam sidang tahunan RAPBN. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam pidatonya saat Sidang Tahunan MPR hari ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengklaim bahwa Indonesia sudah tidak lagi mengimpor bahan bakar pesawat alias avtur. Bahkan, kata Jokowi, Indonesia sudah bisa ekspor avtur.
ADVERTISEMENT
"Kita sudah memproduksi sendiri avtur hingga tidak impor avtur lagi. Tapi kita bisa lebih dari itu, kita bisa ekspor avtur. Kita juga ingin produksi avtur berbahan sawit," kata Jokowi di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Jumat (16/8).
Benarkah demikian?
Berdasarkan penelusuran kumparan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor avtur sepanjang Januari-April 2019 mencapai 224.932 ton atau senilai USD 135 juta. Angka ini turun 44,25 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Adapun berdasarkan data BPS, impor avtur selama Januari-April 2018 mencapai 363.484 ton atau senilai USD 242,2 juta.
Sementara sepanjang 2018, Indonesia mengimpor avtur senilai USD 861,1 juta, naik 4,3 persen dibanding 2017. Namun dari sisi volume, BPS mencatat impor avtur RI mencapai 1,22 juta ton di 2018. Turun dibanding 2017 yang mencapai 1,54 juta ton.
ADVERTISEMENT
Produksi avtur di dalam negeri memang meningkat setelah PT Pertamina (Persero) menyelesaikan Proyek Langit Biru Cilacap (PLBC). Proyek di Unit Pengolahan IV PT Pertamina (Persero), ini sudah beroperasi penuh sejak Juni 2019.
Proyek senilai USD 392 juta itu meliputi tiga bidang pengerjaan. Yakni revamp atau mengubah desain. Termasuk penggunaan teknologi pengolahan terbaru. Selain itu membangun unit pengolahan baru dan membangun utilitas serta offsite.
Dengan beroperasinya PLBC, kualitas dan kuantitas produk kilang Cilacap meningkat. Khusus untuk avtur, meningkat dari 1,2 juta barel menjadi 1,7 juta barel per bulan.