Jubir Menteri KP Jawab Kritik Susi Pudjiastuti soal Penangkapan Ikan Terukur

25 Februari 2022 11:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, menynjukkan lobster di Lombok. Foto: Dok. KKP
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, menynjukkan lobster di Lombok. Foto: Dok. KKP
ADVERTISEMENT
Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KP), Sakti Wahyu Trenggono, menanggapi kritik dari Ketua Umum Pandu Laut Nusantara, Susi Pudjiastuti, terkait adanya pemberian kuota sistem kontrak di kebijakan penangkapan ikan terukur. Susi sebelumnya meminta Trengono meninjau kembali rencana kuota dan konsesi wilayah tangkap di laut.
ADVERTISEMENT
Staf Khusus Bidang Komunikasi dan Kebijakan Publik sekaligus Jubir Menteri KP, Wahyu Muryadi, mengatakan kebijakan yang dikeluarkan Trenggono tersebut justru untuk memperbaiki tata kelola atau sistem penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia.
"Selama ini negara hanya mengijon sumber daya ikan kepada para pelaku usaha. Asal bayar perizinan sekian juta silakan tangkap ikannya. Sepuasnya. Barbar. Berapapun hasilnya, banyakan tidak tercatat, unreported, menjadi rejeki pelaku usaha," kata Wahyu melalui pesan tertulis, Jumat (5/2).
Wahyu membeberkan catatan yang dimiliki KKP yaitu nilai produksi tangkapan ikan yang dinikmati para pelaku usaha berkisar Rp 224 triliun dengan setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP hanya Rp 600 miliar alias 0,02 persen. Menurutnya jumlah tersebut sangat kecil.
ADVERTISEMENT
"Seupil banget. Bandingkan dengan Thailand yang lautnya lebih sempit tapi PNBP nya gede, kabarnya Rp 35 triliun. Baru tahun lalu angka PNBP perikanan tembus Rp 1 triliun," ujar Wahyu.
Wahyu mengungkapkan kelak sistem ini diubah dengan tata kelola yang mengedepankan prinsip menjaga ekosistem dan biota laut demi kesehatan dan kelestarian laut. Ia membeberkan ada Wilayah Penangkapan Perikanan atau WPP 714 di sekitar laut Banda yang dijadikan wilayah konservasi sehingga tidak boleh diambil pelaku usaha atau industri.
"Ini dijadikan tempat pemijahan dan pengasuhan ikan (spawning and nursery ground). Jumlah tangkapan ikan yang dibolehkan mengacu pada perhitungan Komnas Kajiskan diperkirakan untuk seluruh wilayah pengelolaan ikan RI maksimal 6 juta ton," ungkap Wahyu.
ADVERTISEMENT
"Setiap peserta kontrak dan penerima kuota akan menyetor kepada negara dalam persentase tertentu yang dihitung pasca produksi alias ditimbang setelah menangkap ikannya," tambahnya.
Wahyu menegaskan kalau menangkap melebihi kuota akan dikenakan penalti dan dievaluasi setiap tahun. Ia menjelaskan semua operasi ini akan dikontrol dengan teknologi satelit dan diawasi Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan atau PSDKP KKP.
"Sistem kuota ini sudah diterapkan di banyak negara maju," terang Wahyu.
Dampak penerapan kebijakan penangkapan terukur. Foto: Dok. KKP
Lebih lanjut, Wahyu memastikan kapal asing juga tidak bisa sembarangan masuk ke wilayah laut Indonesia. Ia mengungkapkan ada syarat yang dipenuhi seperti harus berbendera merah putih.
"Kapal bikinan asing atau PMA dibolehkan dengan syarat ketat, terutama kapalnya harus berbendera merah putih. ABK wajib semuanya WNI yang tentunya akan dibutuhkan rekrutmen dalam jumlah besar," ujar Wahyu.
ADVERTISEMENT
"Kapal wajib mendaratkan ikannya di pelabuhan perikanan tempat asal izin diberikan agar diproses di daerah tersebut sehingga daerah mendapatkan nilai tambah dan rezeki lainnya. Tidak boleh ada transhipment (alih angkut) di tengah laut. Tidak lagi Jawa sentris," sambungnya.
Wahyu mengharapkan kebijakan itu bisa memicu pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Ia mencontohkan hasil tangkapan ikan dari Maluku atau Sulawesi yang selama ini ikannya dibawa kemana-mana hingga mati berkali-kali sebelum didaratkan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta, kelak tidak boleh lagi.
"Semuanya harus didaratkan di pelabuhan terdekat bahkan juga kelak bisa diekspor dari kawasan asal ikan ditangkap," terang Wahyu.
Wahyu menganggap langkah tersebut sekaligus perlu pembenahan dan revitalisasi pelabuhan perikanan Indonesia di pelbagai daerah yang masih tradisional dan tidak dikelola dengan. Investor asing dan domestik yang berminat merevitalisasi pelabuhan dipersilakan untuk kemudian mendapatkan hak kelola.
ADVERTISEMENT
"Kuota juga akan diberikan untuk zona industri, zona nelayan lokal yang berbasis KTP, dan zona hobi atau rekreasi semisal memancing. Intinya semua pemanfaatan sumber daya laut dan ruang laut harus diatur," ujar Wahyu.
Wahyu menuturkan pemain domestik dan pemilik kapal existing masih diberi kesempatan untuk menangkap ikan dengan sistem pasca produksi. Bahkan, kata Wahyu, jika mereka berminat mengikuti sistem kontrak juga dipersilakan, termasuk nelayan tradisional berskala kecil (one day fishing di bawah 5 grosston) juga diberikan kuota penangkapan dengan membentuk koperasi yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan mereka.
"Pada akhirnya negara juga akan mendapatkan pemasukan dari aneka pajak PPH, PPN, ekspor dan PNBP, juga terjadi perputaran uang yang semarak di daerah-daerah. Pelabuhan perikanan menjadi modern, bersih, dan sehat, rakyat utamanya nelayan kecil lebih sejahtera," tutur Wahyu.
ADVERTISEMENT
Susi Kritik Menteri KP Trenggono: Pengelolaan Laut Jangan Disamakan dengan Hutan
Melalui akun twitter pribadinya, Susi Pudjiastuti mengunggah ulang penolakan yang disampaikan Pandu Laut Nusantara bersama 8 organisasi kelautan lainnya yang tergabung dalam KORAL (Koalisi NGO untuk Kelautan dan Perikanan). Pernyataan sikap organisasi yang dia pimpin itu, diunggah ulang dengan menandai langsung Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono.
Susi Pudjiastuti meminum kopi di sela-sela kegiatan bersepeda di Pangandaran, Jawa Barat. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
"Sebaiknya Pak Menteri KP @saktitrenggono melakukan peninjauan kembali rencana kuota dan konsesi wilayah tangkap di . Sebaiknya pengelolaan laut tidak dijadikan atau disamakan seperti pengelolaan dengan HPH-nya," tulis Susi dikutip pada Kamis (24/2).
Menteri Kelautan dan Perikanan Periode 2014-2019 itu kemudian mengunggah cuitan selanjutnya berisi pembagian zona penangkapan ikan terukur di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).
ADVERTISEMENT
"7 WPP (WPP 'basah') diberikan untuk kuota industri. Hanya 3 WPP untuk kuota nelayan tradisional. Ini bertentangan dengan pernyataan Direktur Perikanan Tangkap yang menyatakan akan mengutamakan rakyat, baru industri," ungkap Susi.
Pendiri Pandu Laut Nusantara itu juga menyinggung soal adanya peralihan lahan yang tadinya merupakan wilayah konservasi menjadi zona industri. Ini dinilai bertentangan dengan komitmen Marine Protected Area.
"Ini tidak sesuai dengan pengelolaan perikanan yang memperhatikan dan melindungi keberlanjutan," tuturnya.