Jumlah Orang Miskin RI Bertambah 12 Juta kalau Ikuti Metode Bank Dunia

11 Juni 2025 16:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Potret kemiskinan di Indonesia. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Potret kemiskinan di Indonesia. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Perubahan standar kemiskinan global yang dilakukan Bank Dunia berpotensi menambah jumlah orang miskin ekstrem di Indonesia hingga 12 juta orang. Hal ini terjadi setelah Bank Dunia menaikkan ambang garis kemiskinan internasional dari sebelumnya USD 2,15 menjadi USD 3 PPP (Purchasing Power Parity) per orang per hari.
ADVERTISEMENT
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory, mengatakan pembaruan ini diumumkan Bank Dunia pada 6 Juni 2025 dan didasarkan pada hasil pembaruan International Comparison Program (ICP) 2021. Jika dikonversi ke rupiah menggunakan PPP 2024 sebesar Rp 6.071 per USD, maka ambang kemiskinan ekstrem internasional yang baru setara dengan Rp 18.213 per hari atau sekitar Rp 546.400 per bulan.
“Artinya, angka kemiskinan ekstrem Indonesia melonjak dari 1,26 persen menjadi 5,44 persen. Dalam jumlah absolut, ini berarti ada sekitar 12 juta orang tambahan yang tergolong miskin ekstrem menurut standar internasional,” kata Arief kepada kumparan, Rabu (11/6).
Namun ia menegaskan, lonjakan angka ini tidak serta-merta berarti Indonesia semakin miskin. Perubahan ini lebih menunjukkan, standar garis kemiskinan nasional Indonesia terlalu rendah jika dibandingkan dengan batas internasional yang baru. Saat ini, garis kemiskinan nasional berada pada angka Rp 595.000 per bulan atau sekitar Rp 19.833 per hari. Nilai ini hanya sedikit lebih tinggi dari garis kemiskinan ekstrem internasional versi terbaru.
ADVERTISEMENT
“Ini memberi sinyal bahwa standar nasional kita terlalu rendah untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia,” ujar Arief.
Sebagai negara yang baru saja masuk kategori Upper-Middle Income Country (UMIC), Arief menilai standar garis kemiskinan nasional seharusnya ditingkatkan. Meski mengakui bahwa standar UMIC yang mengacu pada pengeluaran USD 8,30 PPP per hari atau sekitar Rp 1,5 juta per bulan terlalu tinggi, ia mengusulkan agar Indonesia minimal mengadopsi standar Lower-Middle Income Country (LMIC) yang lebih masuk akal secara fiskal dan realitas sosial.
“Kita bisa menggunakan benchmark LMIC misalnya dengan minimal mengadopsi standar negara berpendapatan menengah bawah (LMIC) dari Bank Dunia, yakni USD 4,20 PPP per orang per hari, atau sekitar Rp 765.000 per bulan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Dengan mengadopsi standar tersebut, jumlah penduduk miskin Indonesia diperkirakan meningkat menjadi sekitar 20 persen dari populasi, tetapi hal ini justru akan memberi gambaran yang lebih akurat tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat dan membuka ruang bagi kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Arief juga menyoroti posisi Indonesia dibanding negara setara secara pendapatan. Meski pendapatan per kapita Indonesia sudah mencapai USD 4.870, negara tetangga seperti Filipina (USD 4.320) mencatat tingkat kemiskinan UMIC sebesar 58,7 persen, dan Vietnam (USD 4.110) sebesar 21,5 persen. Sebaliknya, Indonesia justru mencatat angka 68,3 persen lebih tinggi dari kedua negara tersebut.
“Ini menjadi indikasi kuat bahwa ketimpangan pendapatan kita jauh lebih tinggi dibandingkan negara dengan pendapatan setara,” jelas Arief.
ADVERTISEMENT
Data ketimpangan ini juga diperkuat oleh angka Koefisien Gini Indonesia yang tercatat 0,46 pada 2023 menurut Standardized World Income Inequality Database (SWIID). Angka ini jauh lebih tinggi dibanding Filipina (0,38) dan Vietnam (0,35), menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari 20 persen negara paling timpang di dunia.