Kadin: Investor Asing Ogah Masuk RI Kalau Listrik Masih Pakai Batu Bara

21 September 2020 15:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi PLTU. Foto: AFP/ BAY ISMOYO
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi PLTU. Foto: AFP/ BAY ISMOYO
ADVERTISEMENT
Indonesia masih menjadikan energi fosil sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik, terutama dari batu bara. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019 hingga 2028, porsi batu bara untuk pembangkit listrik 54,4 persen, sedangkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) hanya 23 persen.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Halim Kalla mengatakan, banyak investor asing terutama dari Eropa yang enggan masuk Indonesia karena pasokan listrik dalam negeri masih dominan menggunakan batu bara. Padahal, mereka ingin menggunakan energi bersih.
"Kita tahu beberapa pabrik-pabrik di Eropa mau masuk Indonesia asal listriknya berasal dari EBT. Mereka tidak mau pemasok listrik ke pabrik mereka dari listrik kotor atau fosil," kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VII bersama Kadin, Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF), dan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) secara virtual, Senin (21/9).
Hakim mengatakan, batu bara memang membuat harga listrik murah. Tapi dampaknya buruk pada lingkungan, terutama emisi gas kaca. Jadi, seharusnya pemerintah mendorong pembangkit listrik berbasis energi terbarukan yang lebih masif lagi.
Warga melintas menggunakan kendaraan roda dua di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Jeneponto di Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Rabu (23/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Menurut dia, hingga saat ini pemerintah belum serius memprioritaskan pembangkit listrik EBT. Terlihat dari tidak adanya payung hukum sekelas undang-undang. Karena itu, dia mendukung Rancangan Undang-Undang EBTKE (RUU EBTKE) menjadi produk yang sah.
ADVERTISEMENT
"Kadin menilai terhambatnya sektor EBT ini disebabkan regulasi yang berubah-ubah di masa lalu sehingga memperburuk iklim investasi karena enggak ada payung hukum yang lebih tinggi daripada menteri dalam mendorong EBT," kata dia.
Berubahnya aturan EBT melalui Menteri ESDM membuat target pembangkit EBT rendah, terutama penetapan harga jual listriknya yang menurut Halim terlalu rendah tanpa mempertimbangkan pengembalian modal. Kadin juga melihat insentif yang tersedia kurang menarik.
Derasnya volume air yang melewati PLTA Balambano Foto: Rivi Satrianegara/kumparan
Sebagai contoh, kata dia, pemberian tax holiday dan tax allowance yang hanya 5 tahun. Padahal, 5 tahun pertama setelah itu keuangan perusahaan masih negatif, jadi seharusnya pengusaha tidak perlu bayar pajak PPh.
Selain masalah aturan itu, Kadin juga melihat kurangnya komitmen perbankan di sektor EBT. Meskipun mereka paham EBT merupakan sektor yang akan jadi tumpuan energi masa depan, perbankan masih ragu memberikan pinjaman karena Perjanjian Jual Beli Listrik antara PLN dan pengembang tidak bankable sehingga pelaku usaha harus sediakan jaminan tambahan.
ADVERTISEMENT
"Inilah yang kita harus bangkitkan EBT supaya investor besar-besaran masuk ke Indonesia," ujar dia.