Kadin Minta Aturan UMP 2023 Naik Maksimal 10% Dievaluasi: Ancam Iklim Investasi!

22 November 2022 17:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Rabu (21/9).  Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Rabu (21/9). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang, menanggapi soal keputusan pemerintah terkait upah minimum provinsi (UMP) 2023 naik maksimal 10 persen melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 18 Tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Sarman mengakui bahwa para pelaku usaha kaget dengan adanya kebijakan tersebut. Dia menyebutkan pihaknya akan tetap menaati regulasi tentang pengaturan pengupahan sesuai PP No 36 Tahun 2021 yang merupakan aturan turunan UU Cipta Kerja (Ciptaker).
"Kami memang merasa sangat-sangat di luar dugaan adanya regulasi baru yang dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan, sehingga bagi kami pelaku usaha ini sesuatu yang tidak ada kepastian hukum," ujarnya kepada kumparan, Selasa (22/11).
Dia menuturkan, jika ada perubahan mengenai formula pengupahan, pemerintah semestinya melakukan perundingan tripartit yaitu antara pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah. Atau bisa juga digodok melalui Dewan Pengupahan.
Sarman meminta agar pemerintah mengevaluasi kembali dan mengambil kebijakan yang tidak berat sebelah sehingga membuat pengusaha dan pekerja sama-sama puas.
ADVERTISEMENT
"Kami sangat berharap pemerintah melakukan perundingan kembali dengan perwakilan pengusaha dan pekerja untuk merumuskan satu formula yang tepat, tapi dengan catatan harus sesuai regulasi dan peraturan yang berlaku," tegasnya.
Perubahan Formula UMP Dinilai Ancam Iklim Investasi
Sarman juga menuturkan perubahan formula UMP secara cepat kurang lebih 1,5 tahun dari terbitnya PP No 36 Tahun 2021, serta tanpa ada proses perundingan, kemungkinan dapat mengancam iklim usaha dan investasi nasional.
"Saya rasa ini tidak kondusif karena bagi kita butuh kepastian hukum dan usaha yang akan berdampak kepada iklim usaha dan investasi yang kondusif," ujarnya.
Menurut Sarman, urusan pengupahan ini seharusnya dilihat dari berbagai kepentingan, tidak hanya dari pihak pekerja saja. Dia menilai para pengusaha akan terbebani dengan kebijakan tersebut.
Sejumlah buruh duduk menutup Jalan Medan Merdeka Selatan saat berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Rabu (21/9). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Hal tersebut lantaran kondisi perekonomian global yang melemah saat ini berdampak kepada berkurangnya permintaan industri di dalam negeri, terutama industri padat karya seperti tekstil, garmen, alas kaki, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut, kata dia, menimbulkan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri padat kaya, walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat masih positif 5,7 persen di kuartal III 2022.
"Karena industri padat karya masih banyak tergantung dari order luar negeri, ketika negara luar terdampak krisis global, perang Rusia dan Ukraina, industri padat karya kita sudah langsung merasakan kekurangan pesanan dan itu harus melakukan pengurangan tenaga kerja," jelasnya.
Sarman melanjutkan, banyak lembaga perekonomian dunia sudah meramalkan potensi krisis ekonomi global terjadi di tahun 2023 mendatang, sehingga langsung atau tidak langsung pasti berdampak kepada pelaku usaha domestik.
"Penetapan UMP ini harus lihat juga kondisi real ekonomi pengusaha, supaya ada keseimbangan dalam menetapkan kebijakan itu artinya tidak semata-semata kepentingan pekerja tapi di sana ada kepentingan pengusaha," tandasnya.
ADVERTISEMENT