Kadin soal Kenaikan UMP 2023: Harus Sesuai Sektoral, Ada Dualisme Hukum

22 November 2022 14:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Rabu (21/9).  Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Rabu (21/9). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia menyambut baik kebijakan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2023 maksimal 10 persen yang ditetapkan pemerintah di tengah lonjakan inflasi.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid, menyebutkan kebijakan tersebut harus mempertimbangkan juga keberlangsungan usaha pada setiap sektor agar tidak kontraproduktif.
Arsjad mengungkapkan, pihaknya tidak menampik tantangan ekonomi global yang dipicu oleh konflik geopolitik terus memicu lonjakan inflasi. Pada Oktober 2022, inflasi Indonesia telah mencapai 5,71 persen yang bakal berdampak kepada daya beli masyarakat.
Di sisi lain, dengan tantangan yang sama, Arsjad menilai industri dalam negeri juga merasakan dampak yang berbeda-beda. Hal ini tercermin dari penurunan permintaan global yang berdampak kinerja ekspor Indonesia turun 10,99 persen di September 2022 menjadi USD 24,8 miliar.
Imbasnya, lanjut dia, sektor industri padat karya sebagai penopang penyerapan tenaga kerja di Indonesia menjadi lesu darah karena permintaan yang menurun.
Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid. Foto: B20 Indonesia
“Kebijakan kenaikan upah minimum pada satu periode sebaiknya menargetkan pada industri dengan laju pertumbuhan ekonomi terbesar atau winning industry pada periode tersebut. Jika tidak, kebijakan kenaikan upah tersebut akan memberatkan pelaku usaha,” ujarnya melalui keterangan resmi, Selasa (22/11).
ADVERTISEMENT
Dia mencontohkan, secara kumulatif pertumbuhan industri tekstil dan pakaian mengalami pertumbuhan hingga 11,38 persen, lebih tinggi dibandingkan industri makanan dan minuman yang hanya tumbuh sekitar 3,66 persen.
Namun, belakangan ini industri garmen melakukan sejumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perlambatan permintaan ekspor hingga 30-50 persen. Dia pun meminta kenaikan upah bersifat adil yang tidak memberatkan pelaku usaha dan tenaga kerja atau buruh.
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Rabu (21/9). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Sejalan dengan itu, Arsjad juga menilai kebijakan upah minimum seharusnya disertai dengan pemberian insentif yang ditargetkan pada industri tertentu secara tepat sasaran sesuai dengan kondisi sektoral.
“Dalam situasi pelemahan ekonomi global yang bakal berlanjut pada tahun depan, kami berharap agar kebijakan kenaikan upah dibarengi dengan pemberian insentif bagi industri yang terkena dampak gejolak ekonomi global, seperti industri padat karya dan yang berorientasi pada ekspor,” kata dia.
ADVERTISEMENT

Ada Dualisme Dasar Hukum

Arsjad menambahkan, pemerintah resmi menetapkan kenaikan UMP 2023 melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 18 Tahun 2022. Dia menilai kebijakan ini memunculkan dualisme dasar hukum.
“Dari perspektif legal standing, pengupahan juga memiliki landasan hukum melalui PP 36/2021. Artinya, ada dualisme dasar hukum dengan hadirnya Permenaker No 18/2022. Namun, pada dasarnya kami berharap adanya kebijakan yang secara holistik, adil, dan inklusif yang mempertimbangkan semua kepentingan pihak terkait,” jelasnya.
Dia menuturkan, keberlangsungan usaha di tengah situasi ekonomi saat ini penting agar dapat memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, pihaknya mengedepankan dialog sosial dan musyawarah untuk mufakat demi mencapai titik tengah antara tenaga kerja dan industri.
ADVERTISEMENT