Kapan Plastik hingga Minuman Berpemanis Dikenakan Cukai?

25 Februari 2020 17:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Karyawan melintas di depan lemari pendingin minuman kemasan di salah satu gerai Alfamart di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (20/2). Foto:  ANTARA FOTO/Nova Wahyud
zoom-in-whitePerbesar
Karyawan melintas di depan lemari pendingin minuman kemasan di salah satu gerai Alfamart di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (20/2). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyud
ADVERTISEMENT
Pemerintah berencana menambah objek cukai baru, mulai dari cukai plastik hingga minuman berpemanis. Hal ini pun telah disetujui oleh Komisi XI DPR RI.
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto mengatakan, penerapan tarif terhadap produk plastik hingga minuman berpemanis berfungsi untuk menambah penerimaan negara sekaligus mengurangi konsumsi produk tersebut. Namun, hingga saat ini legislatif maupun pemerintah belum menentukan kapan cukai itu dikenakan.
“Kita kan waktu rapat sudah disetujui roadmap-nya untuk dibahas lebih lanjut. Pengenaannya kapan masih akan dibahas,” ujar Dito di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (25/2).
Untuk cukai plastik, pemerintah mengusulkan kantong plastik seharga Rp 30.000 per kilogram (kg) akan dikenakan cukai Rp 200 per lembar.
Sementara untuk cukai berpemanis, nantinya tarif cukai itu akan dikenakan berdasarkan kadar gula pada minuman kemasan. Namun skema pengenaan kadar gula ini masih akan dibahas lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
“Kemarin kami setujui ada tiga objek kena cukai itu. Cukai sebagai instrumen untuk kendalikan konsumsi,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menuturkan, pihaknya pun menyetujui penerapan ekstensifikasi cukai. Asalkan hal ini dilakukan secara terukur.
Yustinus Prastowo, Direktur CITA Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Yustinus mencontohkan, pengenaan cukai kantong plastik perlu didesain untuk mendorong penurunan konsumsi dan perubahan perilaku konsumen dari yang saat ini masih menjinjing plastik.
"Faktanya plastik masih paling efisien, affordable, dan efisien administrasinya. Kalau plastik memang untuk barang konsumsi yang dipakai, sudah tepat jadi objek pengenaan cukai,” kata Yustinus.
Terkait rencana pengenaan cukai minuman, anggota reformasi perpajakan ini pun mengingatkan agar pemerintah perlu berhari-hari. Menurutnya, harus ada batasan minuman dan apa saja yang perlu dikecualikan.
ADVERTISEMENT
“Tidak semua yang berpemanis bisa dikelompokkan dalam satu keranjang. Misalnya, ambang batas pemanis yang diperbolehkan berapa? Berarti yang di bawah itu tentu aman, sehingga seharusnya tak dikenakan,” kata dia.
"Lalu minuman seperti jamu, minuman kesehatan, susu, itu semua harus jelas ambang batasnya," lanjutnya.
Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), Candra Fajri Ananda juga menyetujui rencana adanya ekstensifikasi cukai oleh pemerintah.
Candra bilang, plastik, minuman berpemanis, serta emisi kendaraan, adalah barang-barang yang menimbulkan efek negatif baik bagi manusia maupun lingkungan.
“Plastik merupakan barang yang di tanah tidak bisa diurai, jadi pasti akan merusak struktur tanah. Demikian pula minuman berpemanis dengan kandungan gula tertentu bisa menyebabkan diabetes maupun obesitas yang tentu tidak bagus bagi masa depan anak-anak muda dan bangsa,” jelas dia.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dampak emisi pada lingkungan (udara bersih) yang mampu menghambat perkembangan otak anak-anak.
"Dalam konteks ini, pengendalian tersebut dianggap perlu dilakukan, mengingat dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan," tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan tarif cukai plastik dikenakan senilai Rp 30.000 per kg. Nilai cukai tersebut mulai dibayarkan pada saat keluar dari pabrik atau pelabuhan untuk plastik impor.
Hal itu diungkapkan oleh Mantan Direktur Bank Dunia ini, dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengenai cukai plastik.
"Untuk tahap awal, kami usulkan Rp 30.000 per kilogram. Di mana pembayaran cukai dilakukan saat barang tersebut keluar dari pabrik atau pelabuhan. Untuk barang impor yang ada di dalam kawasan pelabuhan dan akan masuk ke dalam kepabeanan kita," ujar Sri Mulyani di Ruang Rapat Komisi XI, Jakarta, Rabu (19/2).
ADVERTISEMENT