news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Keluar dari Negara Berkembang, RI Dipastikan Tetap Dapat Diskon Tarif ke AS

25 Februari 2020 9:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengunjung memadati kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Rabu (25/12).  Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjung memadati kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Rabu (25/12). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia dikeluarkan dari negara berkembang oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative/USTR) pada Senin (10/2). Selanjutnya, USTR kini memasukkan Indonesia dalam daftar negara maju.
ADVERTISEMENT
Pelaku usaha khawatir, dengan dikeluarkannya Indonesia dari negara berkembang akan mencabut fasilitas diskon tarif bea masuk pada produk tertentu ke AS atau disebut Generalized System of Preferences (GSP).
Saat ini, ada sekitar 3.572 produk Indonesia yang mendapat fasilitas diskon tarif bea masuk ke AS hingga 0 persen. Dari jumlah itu, baru sekitar 836 produk RI yang diekspor ke AS dan mendapat fasilitas GSP.
Namun Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menegaskan, GSP Indonesia tak akan dihilangkan. Kebijakan pencabutan negara berkembang hanya berlaku pada fasilitas countervailing duty (CVD).
CVD adalah salah satu penerapan pungutan tambahan terhadap produk impor suatu negara. CVD ini berfungsi untuk menetralisir perdagangan agar kembali menjadi fair tanpa dumping dan tanpa subsidi.
Warga beraktivitas di car free day kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (23/6). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Di bawah aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pemerintah diwajibkan untuk menghentikan penyelidikan tugas countervailing jika jumlah subsidi asing de minimis, yang biasanya didefinisikan kurang dari 1 persen.
ADVERTISEMENT
Pada negara berkembang, WTO memberi standar berbeda, yakni mengharuskan penyelidik untuk menghentikan penyelidikan tugas jika jumlah subsidi kurang dari 2 persen.
“Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta telah memberikan klarifikasi yang menegaskan bahwa notice USTR yang baru tersebut tidak berpengaruh terhadap pemberian fasilitas GSP Indonesia. Kebijakan tersebut hanya berdampak pada US countervailing duty investigations bukan pada program GSP,” ujar pria yang akrab disapa Susi dalam keterangannya, Selasa (25/2).
Pengunjung bermain sepeda di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Rabu (25/12). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Menurut dia, status penerima fasilitas diskon tarif ke AS itu didasarkan pada sejumlah kriteria yang ditentukan oleh Bank Dunia. Bahkan dalam aturan resmi GSP pun, kata Susi, tidak mengatur status negara sebagai pertimbangan penerima diskon tarif tersebut.
“Status penerima GSP yang didasarkan pada 15 kriteria eligibilitas, didasarkan pada Undang-undang yang berbeda, termasuk kriteria negara berkembang dan LDCs yang ditentukan oleh World Bank. Undang-undang GSP tidak menjadikan status negara berkembang sebagai pertimbangan,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, para pengusaha khawatir dengan dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang oleh USTR. Salah satunya adalah khawatir fasilitas GSP Indonesia dicabut.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani pun meminta pemerintah segera melobi AS agar fasilitas GSP tak dihilangkan.
“Jadi memang diperlukan lobi-lobi pemerintah untuk memastikan relaksasi ini apakah tetap dimungkinkan atau dinegosiasikan lagi," ujar Rosan di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (24/2).
Dia bilang, pengusaha sebenarnya sudah melakukan antisipasi hal ini. Namun ia tak menduga jika USTR memasukkan Indonesia menjadi negara maju saat ini.
"Dunia usaha sebenarnya antisipasi juga. Kita tahu kalau Indonesia suatu saat akan menjadi negara maju, tapi kejadiannya sekarang. Jadi ini buat kami ya wake up call, enggak bisa diharapkan dari suatu hal yang memang bisa berubah," jelasnya.
ADVERTISEMENT