Kemenkeu Buka Suara Soal Utang Pemerintah RI Lewati Batas IMF

24 Juni 2021 10:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman pada acara Green Sukuk lnvestor Day 2019 di Grand Indonesia, Jakarta, Sabtu (16/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman pada acara Green Sukuk lnvestor Day 2019 di Grand Indonesia, Jakarta, Sabtu (16/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menanggapi kenaikan utang pemerintah yang dikhawatirkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Utang tersebut dinilai telah melampaui batas aman Dana Moneter Internasional (IMF) maupun International Debt Relief (IDR).
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Luky Alfirman mengatakan, pihaknya mengapresiasi pelaksanaan audit dan pemberian WTP dari BPK. Menurutnya, selama pandemi ini hampir seluruh negara menghadapi kenaikan utang karena mengambil kebijakan countercyclical.
IMF sendiri memberikan standar aman untuk rasio utang terhadap penerimaan di kisaran 25-30 persen. Sementara rasio utang terhadap penerimaan Indonesia di tahun lalu 46,77 persen atau melampaui batas IMF tersebut.
“Dalam kondisi pandemi saat ini, hampir tidak ada negara rasio utangnya di kisaran itu (batas aman IMF),” kata Luky kepada kumparan, Kamis (24/6).
Dia mencontohkan, Filipina memiliki rasio utang 48,9 persen, Thailand 50,4 persen, China 61,7 persen, Korea Selatan dan Amerika Serikat masing-masing 48,4 persen dan 131,2 persen.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2020, kata Luky, pemerintah juga telah mengelola pembiayaan APBN dengan kebijakan extraordinary, yang menjaga pembiayaan pada kondisi aman serta upaya untuk menekan biaya utang. Salah satu caranya yakni burden sharing dengan Bank Indonesia (BI), sebagai wujud sinergi pemerintah dan BI (SKB II) untuk membiayai penanganan pandemi, di mana BI ikut menanggung biaya bunga utang.
Selain itu, pemerintah juga melakukan kebijakan konversi pinjaman luar negeri, yang mengubah pinjaman dalam dolar AS dan suku bunga mengambang (basis LIBOR) menjadi pinjaman dalam Euro dan Yen, dengan suku bunga tetap mendekati 0 persen.
“Sehingga mengurangi risiko dan beban bunga ke depan,” katanya.
Strategi pengelolaan pembiayaan melalui upaya menurunkan yield di tahun lalu juga dinilai dapat menekan yield SBN sekitar 250 basis poin, mencapai 5,85 persen di akhir tahun atau turun 17 persen (ytd).
ADVERTISEMENT
“Dengan berbagai respons kebijakan tersebut, ekonomi Indonesia di 2020 cenderung tumbuh relatif cukup baik dibanding negara lain,” jelas Luky.
Di samping itu, lembaga pemeringkat kredit internasional juga mengapresiasi pengelolaan ekonomi dan pembiayaan Indonesia selama ini dengan mempertahankan peringkat Indonesia, terutama di masa pandemi. Sementara sebagian besar atau 124 negara mengalami penurunan peringkat, bahkan di antaranya sudah ada meminta pengampunan utang melalui skema Paris Club.
“Pemerintah sepakat untuk terus waspada dan mengajak semua pihak bekerja sama dalam mendukung pengelolaan pembiayaan negara. Pemerintah senantiasa mengelola pembiayaan secara hati-hati, kredibel, dan terukur, termasuk dalam beberapa tahun terakhir ini ketika terjadi perlambatan ekonomi global, APBN berfungsi sebagai instrumen kebijakan countercyclical dengan pembiayaan sebagai alat untuk menjaga ekonomi,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan audit BPK, realisasi pembiayaan mencapai Rp 1.193,29 triliun selama tahun lalu. Angka ini mencapai 125,91 persen dari nilai defisit yang sebesar Rp 947,70 triliun.
BPK juga mengungkapkan bahwa rasio utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF maupun IDR. Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.
Selanjutnya, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-19 persen. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
Ketua BPK, Agung Firman Sampurna mengatakan, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunganya telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. Sehingga, pemerintah dikhawatirkan tidak mampu untuk membayar utang tersebut berserta bunganya.
ADVERTISEMENT
"Memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," ujar Agung Firman dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/6).