Kemenperin Ungkap Probelm Hilirisasi: Kita Setop Ekspor, Tapi Bergantung Impor

21 September 2022 13:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Smelter nikel PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM). Foto: PT Antam
zoom-in-whitePerbesar
Smelter nikel PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM). Foto: PT Antam
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi terus menggencarkan program hilirisasi mineral dengan melarang ekspor bahan mentah. Setelah nikel, Jokowi berencana akan menyetop timah dan bauksit.
ADVERTISEMENT
Namun di balik itu semua, nyatanya industri hilirisasi di Indonesia belum siap untuk mengolah bahan mentah dari dalam negeri. Alhasil industri-industri masih mengimpor bahan-bahan dari luar negeri.
"Itu problem kita di hilirisasi, ketika kita di hulunya misalkan nikel, itu banyak sekali produksinya tapi mau diolah di dalam negeri ternyata yang mengolah hanya beberapa," kata Direktur Industri Logam Kemenperin Liliek Widodo saat ditemui di Jakarta International Expo, Rabu (21/9).
Liliek memberi contoh seperti belum adanya industri yang mampu mengolah nikel menjadi baterai listrik. Padahal, pemerintah Indonesia terus mendorong konversi kendaraan berbahan bakar minyak menjadi kendaraan listrik.
Sehingga meskipun industri-industri sudah dibangun di Indonesia, namun komponen-komponennya belum bisa dibuat maka akan tetap memerlukan bahan dari impor. Menurut Liliek, hal itu lah yang saat ini menjadi kekhawatiran dari program hilirisasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Tapi memang itu proses bisnis, dan kita akan menuju ke sana biar memperkuat pohon industri nasional, artinya supply chain-nya atau rantai pasok itu bisa jalan dengan baik," ujar dia.
Dilema Hilirisasi
Liliek menjelaskan problem lainnnya dari program hilirisasi industri ini adalah dilema dari arah pembangunannya. Apabila industri dibangun dari hulu, maka pasokan bahan baku akan melimpah namun tidak bisa diolah karena keterbatasan teknologi sehingga terpaksa Indonesia akan mengekspor bahan mentah.
Di lain sisi, ketika industri dibangun dari hilir, sementara kesiapan komponen-komponen bahan setengah jadi tidak mampu diproduksi di dalam negeri, maka Indonesia tidak bisa lepas dari ketergantungan impor.
"Artinya ada problemnya di mana untuk bisa menyatukan hulu hilir ini bisa sejalan di dalam negeri. Tentu itu mainnya di kebijakan, jadi banyak kebijakannya, untuk masuk itu melalui berbagai instrumen investasi," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Industri Hilir di RI Belum Siap
Suasana pabrik pengolahan Nikel milik PT Vale Indonesia (INCO) di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Foto: Angga Sukmawijaya/kumparan
Sebelumnya, Sekretaris PT Timah Abdullah Umar Baswedan mengatakan bahwa program hilirisasi Jokowi harus ditunjang dengan kesiapan industri hilirisasi di dalam negeri. Seperti timah yang mau dilarang ekspor oleh Jokowi, Umar menilai industri hilirisasi harus siap menyerap produksiya sebelum ekspor dilarang.
"Cuma masalahnya apakah seluruh produksi yang kita hasilkan, terutama produk nasional itu bisa diserap oleh industri hilir ini. Karena faktanya, kita bicara PT Timah, itu yang kita ekspor 95 persen, 5 persennya untuk konsumsi dalam negeri. Kalau kita bicara di luar PT Timah mungkin hampir semuanya diekspor," ujar Umar.
Dia mengatakan, untuk PT Timah sendiri sudah memiliki anak usaha hilirisasi untuk memproduksi tin solder dan tin chemical. Masing-masing kapasitasnya per tahun adalah 2.000 ton dan 10.000 ton. Itu pun, mayoritas produksinya diekspor.
ADVERTISEMENT
"Tapi kalau kemudian enggak boleh ekspor, kemudian logam timah itu dikonsumsi dalam negeri semuanya, karena dari Indonesia itu 70.000 ton. Siapa yang mau menyerap, buat apa?" ujarnya.