news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kenaikan Tarif Cukai Rokok Saja Dinilai Tak Cukup Dorong Penerimaan Negara

10 Juli 2021 7:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Rokok. Foto: Antara/Yusran Uccang
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rokok. Foto: Antara/Yusran Uccang
ADVERTISEMENT
Pemerintah diminta untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok daripada mereformasi perpajakan, seperti Pajak Penghasilan (PPh) hingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Meski demikian, kenaikan cukai rokok saja dinilai tak akan cukup.
ADVERTISEMENT
Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Aryana Satrya menjelaskan, tarif cukai hasil tembakau harus dibarengi dengan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau menjadi 3-5 strata, dari yang saat ini sepuluh strata. Berdasarkan kajiannya, penyederhanaan golongan tarif dapat meningkatkan penerimaan perpajakan dan mencapai target penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen.
“Penerapan cukai rokok di Indonesia saat ini masih beragam karena banyaknya golongan tarif cukai ini menyebabkan harga rokok bervariasi,” ujar Aryana kepada kumparan, Sabtu (10/7).
Menurut dia, kenaikan tarif cukai saja tak akan cukup menggenjot penerimaan negara. Sebagai contoh, pemerintah menaikkan tarif rata-rata cukai rokok tahun 2020 sebesar 23 persen, jumlah rokok ilegal justru naik hampir 60 persen. Data survei terakhir Kementerian Keuangan menyebut, pada tahun 2019 rokok ilegal ada di kisaran 3 persen, dan naik 4,8 persen di tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Misbakhun, mengatakan cukai hasil tembakau memang jadi salah satu pilar penerimaan negara yang penting. Tapi dia mengatakan, menaikkan tarif cukai rokok yang dilakukan dengan orientasi penerimaan negara semata bisa membuat kontraksi industri tembakau secara keseluruhan.
“Dampak yang paling mudah dilihat adalah penurunan produksi yang sudah terlihat saat ini. Menurut saya adanya roadmap industri hasil tembakau bisa jadi solusi,” jelasnya.
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menyebut, selama ini industri hasil tembakau seperti hanya dijadikan ‘sapi perah’ oleh pemerintah. Ketua DPC APTI Pamekasan, Samukra, menyebut banyak aturan yang menekan industri tembakau, termasuk rencana merevisi PP 109/2012 yang dinilai memperketat aturan pertembakauan.
“Keberadaan PP 109/2012 dan pandemi ini saja sudah memberatkan petani, apalagi jika diperketat. Kami akan datang ke Istana bila pembahasan regulasi ini diteruskan demi mempertahankan pencaharian, apalagi ekonomi sedang sulit,” kata dia.
Petani tembakau di Pamekasan, Jawa Timur. Foto: Antara/Saiful Bahri
Dilansir dari Antara, Bupati Temanggung, M Al Khadziq, menyatakan rencana revisi beleid tersebut dapat merugikan petani tembakau. Temanggung merupakan salah satu sentra penghasil tembakau di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Pemkab Temanggung memohon kepada pemerintah pusat agar revisi PP 109/2012 kalau bisa dibatalkan dulu, karena semakin dibatasi turunan produk tembakau, maka kesejahteraan petani akan semakin menurun," jelasnya.
PP 109/2012 merupakan beleid mengenai Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Aturan ini juga membatasi produk turunan tembakau.
"Asumsi kami semakin turunan produk tembakau dibatasi, maka juga akan menurunkan harga jual tembakau, khususnya tembakau lokal dari Kabupaten Temanggung, sehingga merugikan petani tembakau," ujarnya.
Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, meminta pemerintah tak melupakan upaya pengendalian konsumsi rokok, yang juga telah menimbulkan beban kesehatan dan materi yang cukup besar. Ia berharap, kebijakan fiskal dan kebijakan nonfiskal terhadap pengendalian konsumsi rokok, khususnya pada anak dapat dilakukan secara maksimal.
ADVERTISEMENT
Salah satunya, sambung Lisda, adalah melalui menyederhanakan struktur tarif cukai hasil tembakau demi penurunan prevalensi perokok anak. Ia mengatakan, kerumitan struktur tarif cukai hasil tembakau menyebabkan tingginya variasi harga rokok, mulai dari yang mahal hingga murah.
Akibat hal itu, katanya, anak-anak dapat menjangkau harga rokok yang murah. Dia mengatakan, banyaknya layer pada struktur CHT di Indonesia menyebabkan tidak efektifnya kebijakan kenaikan cukai.
“Banyak layernya, sehingga rokok-rokok banyak sekali. Saat cukai itu diterapkan ternyata kita lihat bahwa pada rokok-rokok tertentu harganya tidak naik secara rata-rata karena ternyata tidak semua rokok pada layer layer tertentu cukainya dinaikkan,” ujarnya.
Lisda menuturkan bahwa wacana penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau sudah dibahas pemerintah sejak beberapa waktu lalu, namun dibatalkan pelaksanaannya.
ADVERTISEMENT
“Jadi artinya itu bukan sesuatu yang baru di Kemenkeu, karena itu sudah pernah dibahas dan sudah pernah menjadi pertimbangan,” ujarnya.
Sementara itu, terhambatnya pengendalian dan penurunan jumlah perokok di Indonesia dinilai Sekretaris Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno, salah satunya terjadi karena sistem layer cukai tembakau yang banyak.
“Kalau sistem layer cukainya masih seperti ini, masih banyak, ini tentu saja kan ada disparitas harga yang cukup signifikan. Artinya apa? Kalau sistem layer cukai ini tidak disederhanakan, pilihan harga rokok akan sangat banyak,” jelasnya.
Dalam situasi seperti ini, sekali pun harga rokok naik konsumen akan tetap dengan mudah mencari pengganti merek rokok yang lain. “Ketika konsumen atau perokok tidak bisa membeli rokok dengan harga yang tinggi, dia akan membeli harga substitusi yang rendah, dengan merek yang tentu saja berbeda. Perokok bisa saja turun grade ketika harga rokok yang biasa dia konsumsi harganya naik,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Banyaknya layer dalam sistem tarif cukai rokok, kata dia, menyebabkan kebijakan cukai menjadi tidak efektif. Sistem cukai yang berlaku saat ini juga memudahkan perusahaan rokok untuk memproduksi rokok dengan jenis dan merek yang berbeda pada golongan/layer yang paling rendah.
“Artinya dengan sistem seperti ini perusahaan/produk rokok A misalnya bisa memproduksi dengan kemiripan rasa, kemudian menaruh harga di layer yang paling rendah, dan harganya masih terjangkau anak-anak” katanya.
Agus mengatakan pelaksanaan simplifikasi struktur tarif cukai rokok ini lebih baik disegerakan secepat mungkin. “Kalau kita kaitkan pada saat pandemi seperti ini justru saat yang paling tepat kalau pemerintah mau melaksanakan itu,” jelas dia.
Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp 180 triliun. Adapun realisasinya hingga akhir Mei 2022 sebesar Rp 74,78 triliun, naik 11,86 persen dari periode yang sama tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Penerimaan cukai itu paling banyak disumbang oleh cukai hasil tembakau atau cukai rokok sebesar Rp 72,49 triliun, naik 12,13 persen dari Mei 2020. Angka ini setara dengan 41,71 persen dari target cukai rokok hingga akhir tahun ini Rp 173,78 triliun.