Kesenjangan Ekonomi Era Jokowi Dianggap Lebih Buruk dari Masa Orde Baru

16 Februari 2020 22:34 WIB
comment
18
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Potret kesenjangan ekonomi, seorang anak menjajakan koran berlatar gedung pencakar langit. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Potret kesenjangan ekonomi, seorang anak menjajakan koran berlatar gedung pencakar langit. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Berbagai program ekonomi Presiden Joko Widodo atau Jokowi, dianggap belum berhasil mengatasi masalah kesenjangan. Bahkan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini, menilai kesenjangan ekonomi saat ini masih lebih buruk dibandingkan masa Orde Baru.
ADVERTISEMENT
“Banyak program ekonomi Pemerintahan Jokowi, tapi bagaimana hasilnya? Hasilnya gini rasio mengalami sedikit penurunan, tetapi tetap lebih jelek dibandingkan pemerintahan pada masa Orde Baru. Ini jika dilihat dari sekedar angka gini rasio pengeluaran keluarga. Bukan pendapatan yang sebenarnya,” kata Didik dalam diskusi online interaktif yang digelar Indef, Minggu (16/2).
Menurut Didik, kebijakan pemerataan pembangunan yang dilakukan Pemerintahan Jokowi hanya bersifat instant, sangat minimal, bahkan bisa dikritik tuna kebijakan pemerintah. Antara lain karena tidak serius dan tidak kuat.
Dia menilai banyak kebijakan bersifat populis, tapi tanpa strategi. Seperti bagi-bagi uang ke desa karena memang itu desakan politik untuk menyenangkan konstituen.
Koefisien Gini atau Gini Rasio Indonesia dari tahun ke tahun. Foto: Dok. Kantor Staf Kepresidenan
“Tidak salah kebijakan itu, tetapi itu kategori kebijakan bermutu rendah,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Didik mencontohkan Program Dana Desa, sangat politis sekali untuk membeli suara. Hal itu terlihat dari promosi oleh partai politik tanpa desain jelas.
“Seperti bagi-bagi uang ke konstituen, seperti bermanfaat tapi kurang produktif. Dana desa naik pesat sekali tapi tetap gini rasio cukup tinggi relatif dibandingkan masa pemerintahan yang lalu,” ujar Didik.
Ekonom Senior INDEF Didik J. Rachbini Foto: Selfy Sandra Momongan /kumparan
Sementara itu ekonom lainnya di Indef, Rusli Abdullah, mengungkap data soal kegagalan Dana Desa mengatasi kesenjangan ekonomi. Pada periode 2014-2019 (Kemiskinan per September), delta pengurangan kemiskinan desa lebih kecil dari pada delta kemiskinan kota.
"Delta penurunan kemiskinan desa 1,16 persen, sedangkan kota 1,6 persen," ujar Rusli.
Padahal di desa pada periode 2014-2019 ada program Dana Desa. Sehingga menurut Rusli, angka tersebut di atas menjadi entry point untuk menggali lebih lanjut efektifitas Dana Desa dalam menurunkan angka kemiskinan di desa.
ADVERTISEMENT
Sedangkan terkait data gini rasio yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), menurut Didik ada dua kritik yang bisa diajukan terkait klaim pemerintah yang bersumber pada data BPS.
Pertama, angka gini rasio pada saat ini masih jauh lebih tinggi dari masa orde baru sehingga penurunan tersebut bukan suatu prestasi khusus. Kedua, angka BPS tersebut hanya bisa dipakai dalam wilayah terbatas semisal ruang akademik, tetapi tidak bisa mengukur masalah kesenjangan nyata di lapangan.
“Alasan data BPS tidak bisa dipakai secara kritis untuk melihat kesenjangan di lapangan karena alat ukur kesenjangan tersebut bukan untuk mengukur kekayaan, tetapi mengukur pengeluaran,” papar Didik.
Didik menjelaskan, penting untuk mengganti indikator gini rasio. Sebab meski gini rasio tergolong rendah, tetapi Indonesia bersama Rusia, Thailand, dan India, tergolong sebagai negara yang paling tinggi tingkat kesenjangan ekonominya.
ADVERTISEMENT