Kesepakatan AS - China Belum Mampu Dorong Surplus Neraca Dagang RI

19 Januari 2020 9:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kedua kiri) bertemu dengan Presiden China Xi Jinping (kanan) pada pertemuan bilateral di KTT G20 di Osaka, Jepang. Foto: REUTERS / Kevin Lamarque
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kedua kiri) bertemu dengan Presiden China Xi Jinping (kanan) pada pertemuan bilateral di KTT G20 di Osaka, Jepang. Foto: REUTERS / Kevin Lamarque
ADVERTISEMENT
Kesepakatan penyelesaian perang dagang fase I antara Amerika Serikat (AS) dengan China telah diumumkan. Meski demikian, hal ini dinilai belum memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan, perjanjian perdagangan fase I AS-China tersebut juga belum mampu menurunkan defisit neraca perdagangan Indonesia. Menurutnya, kondisi global pun masih dipenuhi ketidakpastian.
Sepanjang 2019, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan defisit USD 3,19 miliar. Angka ini mengecil dari defisit neraca perdagangan 2018 yang sebesar USD 8,69 miliar.
“Kesepakatan itu belum menjamin perang dagang akan mereda. Ini merupakan kesepakatan yang sifatnya hanya ngerem untuk sementara. Masih belum definitif menyiratkan akan menurunkan neraca dagang,” ujar Faisal kepada kumparan, Minggu (19/1).
Saat ini, perang dagang tidak hanya menyangkut AS dan China, melainkan AS dengan mitra dagang lainnya. Sehingga menurut Faisal, konsolidasi antara kedua negara tersebut dinilai tak akan signifikan dampaknya ke ekspor dan neraca dagang Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Karena penetrasi ekspor masih akan susah, meskipun sudah mencapai kesepakatan. Sebetulnya, proteksi itu bukan hanya dilakukan oleh China dan AS, tetapi juga negara mitra tujuan lainnya,” jelasnya.
Dia melanjutkan, ketegangan AS dan Iran saat ini pun tak kalah sengitnya dengan China. Jika hal ini terus terjadi, rata-rata harga minyak mentah diperkirakan akan melambung melebihi USD 80,00 per barel.
Pelabuhan Nansha, Guangzhou, China Foto: portofnansha.com
Namun, Faisal memperkirakan defisit neraca perdagangan Indonesia 2020 akan mengecil dibandingkan tahun lalu. Ini dipengaruhi oleh beberapa komoditas andalan ekspor yang menunjukkan tren kenaikan, utamanya pada minyak sawit atau crude palm oil (CPO).
“Tren peningkatan harga sebenarnya sudah terlihat, artinya hal ini bisa mendorong pertumbuhan ekspor, yang tadinya di 2019 mengalami kontraksi atau pertumbuhannya minus,” kata Faisal.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai, kesepakatan dagang fase I AS-China juga belum mempengaruhi kinerja ekspor dan impor Indonesia. Menurut dia, dalam kesepakatan dagang itu dinilai tidak terlalu substansial.
“Saya rasa ini belum menjawab isu yang sifatnya struktural, substansial. Karena belum semua tarif produk AS maupun China diturunkan," kata Bhima.
Dia menuturkan, dengan kondisi tersebut, perang dagang sebenarnya masih berlangsung. Artinya, sinyal perlambatan ekonomi pun diperkirakan akan terus berlanjut.
“Hal itu tentu mempengaruhi pengusaha juga, skeptis dari pengusaha, eksportir terutama, dia akan berpikir perang dagang belum selesai di 2020,” katanya.
Menurut Bhima, dibutuhkan kesepakatan perdagangan fase II antara AS dan China dan berisi hal yang lebih konkret. Selain itu, fase II seharusnya juga benar-benar membicarakan bahwa perang dagang antara kedua negara itu selesai.
ADVERTISEMENT
"Kami masih tunggu bagian fase II ini,” tambahnya.
AS dan China telah menandatangani kesepakatan perdagangan fase I pada Rabu (15/1) di Washington. Perjanjian ini akan menurunkan beberapa tarif impor dan meningkatkan pembelian produk AS.
Tujuan kesepakatan tersebut yakni untuk meredakan perselisihan yang telah terjadi selama 18 bulan terakhir pada dua ekonomi terbesar dunia. Namun pada fase awal ini masih menyisakan sejumlah isu yang belum terselesaikan.
Inti dari kesepakatan tersebut adalah janji China untuk membeli sekitar USD 200 miliar tambahan produk pertanian AS, serta barang dan jasa lainnya selama dua tahun.
Komitmen dagang tersebut termasuk pembelian tambahan untuk energi sebesar USD 54 miliar, pembelian manufaktur sebesar USD 78 miliar, produk pertanian sebesar USD 32 miliar, dan USD 38 miliar untuk pembelian jasa, menurut dokumen kesepakatan yang dirilis oleh Gedung Putih.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, China menolak keras untuk berkomitmen membeli sejumlah produk agrikultur AS. Bahkan Negeri Tirai Bambu ini telah menandatangani kontrak pembelian kedelai baru dengan Brasil sejak perang dagang dimulai.