Kewajiban Eksportir Pakai Kapal Nasional Dinilai Bikin Ongkos Membengkak

18 April 2020 18:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja membongkar buah kelapa sawit di unit pemrosesan minyak kelapa sawit milik negara. Foto: REUTERS / Tarmizy Harva
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja membongkar buah kelapa sawit di unit pemrosesan minyak kelapa sawit milik negara. Foto: REUTERS / Tarmizy Harva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menerbitkan Permendag Nomor 40 Tahun 2020, tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut Nasional dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu yang akan berlaku pada Mei 2020.
ADVERTISEMENT
Permendag ini secara garis besar mewajibkan eksportir batu bara dan CPO, serta importir beras dan barang pengadaan barang pemerintah menggunakan angkutan laut dan asuransi nasional.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Corporate Affairs Asian Agri, Fadhil Hasan, menilai peraturan tersebut tidak akan maksimal. Sebab, kapal di Indonesia kurang secara jumlah.
"Sebenarnya kita enggak yakin bisa diimplementasikan dengan baik karena kan kesiapan dan ketersediaan kapal-kapal nasional itu sendiri juga terbatas, terutama yang diatas 10 ribu GT tu kan,” kata Fadhil saat dihubungi, Sabtu (18/4).
Selain itu, Fadhil merasa Permendag tersebut bakal memberatkan para eksportir. Ia menjelaskan saat ini proses ekspor CPO menggunakan sistem free on board (FOB). Dengan FOB, eksportir membayar transportasi barang ke pelabuhan pengiriman ditambah biaya pemuatan.
Sebuah kapal tongkang membawa batu bara yang menunggu masuk bongkar muat di pelabuhan tanjung priok. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
"Kami bayar dua kali kalau itu diberlakukan. Sekarang kita sudah bayar FOB-nya, terus bayar lagi ke perusahaan asuransi nasionalnya. Menurut saya akan jauh lebih mahal ongkosnya itu, sewanya juga akan lebih tidak efisien. Jadi akan berpengaruh sama daya saing kita," ujar Fadhil.
ADVERTISEMENT
Fadhil mengharapkan segala sesuatunya harus dipikirkan secara matang termasuk koordinasi dengan negara tujuan ekspor. Ia tidak mau adanya Permendag itu malah membuat semakin tidak efektif.
Ketidakefektifan bisa terlihat saat kapal nasional balik ke Indonesia setelah mengirimkan barang ke negara lain. Karena, kapal tersebut kembali tanpa mengangkut barang, maka tidak efisien.
"Misalnya kapal asing ngirim barang (Indonesia), dari sini bawa barang kita gitu kan. Kalau kapal nasional bagaimana? Mereka harus punya order di sana (negara lain) juga kan. Kalau misalnya dari sana kosong kan enggak efisien sekali," ungkap Fadhil.