Khawatir Listrik Dikuasai Swasta, Serikat Pekerja PLN Tolak Omnibus Law

9 Juli 2020 21:45 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pembangunan PLTU. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembangunan PLTU. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
RUU Omnibus Law Cipta Kerja masih menuai banyak penolakan. Salah satu penolakan datang dari Serikat Pekerja PT PLN (Persero). Ketua Umum DPP SP PT PLN Persero M Abrar Alib mengatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menimbulkan terjadinya liberalisasi dalam tata kelola listrik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebab, RUU Cipta Kerja di sub-klaster ketenagakerjaan menghilangkan fungsi legislasi DPR dalam melakukan pengawasan. Padahal fungsi legislatif menyangkut hal interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat untuk memastikan pemerintah tidak seenaknya mengatur listrik
“Listrik adalah aset strategis bangsa. Listrik bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga pertahanan,” ungkap Abrar dalam konferensi pers virtual, Kamis (9/7).
RUU Cipta Kerja di sub-klaster ketenagakerjaan juga memungkinkan pihak swasta akan menguasai sektor ini. SP PLN khawatir jika swasta menguasai ketenagalistrikan. Abrar mencontohkan kasus padamnya listrik yang sempat terjadi di Pulau Nias karena masalah kerja sama dengan swasta. Gara-gara pemadaman tersebut internet tidak berfungsi, ekonomi terhenti, bahkan sistem keamanan terganggu.
“Bagaimana kalau kita terikat kontrak dengan pihak yang lain? Akan sangat berbahaya. Karena itu, kami mengingatkan kepada DPR dalam fungsinya membuat Undang-Undang, jangan gegabah mengesahkan RUU Cipta Kerja,” tegasnya.
Ilustrasi gardu listrik PLN. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Senada, Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan YLBHI Arip Yogiawan mengatakan, masyarakat sipil juga dengan tegas menolak disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Dalam penjelasannya, Arip menyebut ada 12 alasan yang membuat masyarakat sipil menolak Omnibus Law.
ADVERTISEMENT
Pertama, RUU tersebut dinilai melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan mensejahterakan.
Kedua, penyusunan RUU Cacat Prosedur karena dilakukan secara tertutup, dan minim partisipasi masyarakat sipil dan mendaur ulang pasal inkonstitusional.
Ketiga, satgas Omnibus Law elitis dan tidak mengakomodir elemen masyarakat yang terdampak dengan keberadaan seperangkat RUU Cipta Kerja.
Keempat, terjadi sentralisme kewenangan yaitu kebijakan ditarik ke pemerintah pusat dan mencederai semangat reformasi. Kelima, RUU tersebut akan membuat celah korupsi melebar akibat mekanisme pengawasan yang dipersempit dan penghilangan hak gugat oleh rakyat.
Keenam, perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat. Ketujuh, percepatan krisis lingkungan hidup akibat investasi yang mengakibatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis (man made disaster) dan kerusakan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, RUU Cipta Kerja seolah menerapkan perbudakan modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja berupa legalisasi upah di bawah UMK, upah per jam dan perluasan kerja kontrak outsourcing.
Sembilan, adanya potensi PHK Massal dan memburuknya kondisi kerja. Sepuluh, membuat orientasi sistem Pendidikan untuk menciptakan tenaga kerja murah. Sebelas, memiskinkan petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak difabel dan kelompok minoritas keyakinan, gender dan seksual.
Terakhir, kriminalisasi, represi dan kekerasan negara terhadap rakyat sementara negara memberikan kekebalan keistimewaan hukum kepada para pengusaha.