KKP Resmi Izinkan Nelayan Pakai Cantrang Meski Tak Ramah Lingkungan

23 Januari 2021 8:14 WIB
Kapal Cantrang di Natuna. Foto: Dok: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Kapal Cantrang di Natuna. Foto: Dok: Istimewa
ADVERTISEMENT
Polemik kebijakan cantrang memasuki babak baru. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan relaksasi terhadap penggunaan alat tangkap ikan yang kerap menuai kontroversi ini.
ADVERTISEMENT
Keputusan tersebut merupakan realisasi dari Peraturan Menteri KP Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penempatan API dan APBI di WPPNRI dan Laut Lepas.
Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini menjelaskan, ada beberapa aturan yang berubah di dalam Permen tersebut. Salah satunya termasuk adanya keringanan terkait penggunaan cantrang.
"Apa yang berubah dari permen 71 ke 59? Pertama perubahan peraturan alat penangkapan, kemudian perubahan peraturan alat baku penangkapan ikan. Pengaturan alat penangkapan ikan yang sebelumnya dilarang sekarang kita berikan relaksasi dengan pembatasan," ujar Zaini dalam sosialisasi dan diskusi publik yang digelar KKP, Jumat (22/1).
Nantinya, KKP memberlakukan sejumlah pembatasan dan mekanisme penggunaan cantrang ini. Pertama, KKP memastikan tidak ada penambahan kapal cantrang baru.
ADVERTISEMENT
"Kapal yang sudah ada saja yang kita akomodir untuk penangkapan, kapal baru tidak boleh, dari kapal non-cantrang mau berubah tidak boleh. Kapal cantrang yang sudah berubah jadi non-cantrang kemudian mau diubah lagi itu tidak boleh," ujarnya.
Cantrang yang boleh digunakan, hanya jenis pukat tarik satu kapal. Sedangkan untuk purse seine hingga pukat hela dua kapal, itu tetap dilarang.
Lebih lanjut, KKP juga berencana memberlakukan tarif untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang lebih besar untuk kapal dengan alat tangkap kurang ramah lingkungan tersebut.
"Kemudian tarif PNBP cantrang bakal ditetapkan dengan Permen Produktivitas. saya kira alat tangkap yang kurang ramah lingkungan tarif PNBP-nya harus lebih besar dari alat yang ramah lingkungan, jadi kita akan buat PNBP seperti itu," tuturnya.
Kapal nelayan yang masih pakai cantrang. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
Zaini mengemukakan, salah satu alasan alat tangkap yang menuai kontroversi ini kembali dibolehkan, yakni banyaknya nelayan kecil yang menggantungkan hidup di sana. Sementara alat tangkap yang lebih efisien belum ada.
ADVERTISEMENT
"Nelayan yang terlibat di cantrang ini sebanyak 115 ribu orang, ini baru yang tercatat. 115 ribu orang ini bukan pemilik kapal," ujar Zaini.
Zaini menjelaskan, nelayan kecil ini tak cuma mereka yang menggunakan kapal berukuran di bawah 5 GT, melainkan para nelayan yang bekerja sebagai buruh di kapal-kapal besar hingga 100 GT.
Pelarangan penggunaan alat tangkap ini, menyulitkan mereka yang menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan kapal-kapal cantrang tersebut.
"Buruh nelayan ini berbeda sekali dengan buruh di pabrik atau industri, karena buruh yang berada di atas kapal ini adalah buruh yang menanggung biaya operasional sendiri," tuturnya.
"Setelah dia menangkap ikan, dipotong dulu biaya operasionalnya, oleh karenanya banyak nelayan buruh yang terlilit utang kepada pemilik kapal. Sehingga inilah yang menjadi konsen kita meningkatkan kesejahteraan nelayan buruh," sambung Zaini.
ADVERTISEMENT
Atas kebijakan diperbolehkannya kembali penggunaan cantrang, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyoroti perubahan aturan KKP ini. Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Parid Ridwanuddin, menyayangkan proses diskusi dengan LSM baru digelar setelah aturan disahkan.
Terlebih lagi, Parid menilai ada sejumlah kejanggalan yang mengiringi perubahan aturan tersebut. Salah satunya yakni penandatanganan aturan itu dilakukan tepat sebelum Menteri KP Edhy Prabowo kunjungan kerja ke Amerika Serikat.
"Permen ini ditandatangani 18 November, satu hari sebelum Pak Edhy berangkat ke Amerika. Kemudian diundangkan 30 November 2020, beberapa hari setelah Pak Edhy ditangkap KPK," ujar Parid dalam sosialisasi dan diskusi yang digelar KKP, Jumat (22/1).
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kanan) berjalan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (28/12). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Belum lagi aturan tersebut menurutnya, juga bertentangan dengan kajian yang pernah dikeluarkan KKP sendiri soal cantrang. Ia kembali mengingatkan kajian KKP tahun 2018 mengenai statistik sumber daya laut dan pesisir.
ADVERTISEMENT
Kajian itu berisi sejumlah dampak penggunaan cantrang, mulai dari menimbulkan metode penangkapan yang tidak efektif dan ramah lingkungan, hingga menyebabkan terjadinya konflik horizontal di kalangan nelayan.
"Jadi belum genap 3 tahun, Permen ini kemudian tidak sesuai dengan kajian. Jadi ada kajian KKP sendiri yang bertentangan dengan Permen ini," jelasnya.
Terakhir yang ia soroti, yakni soal penempatan nelayan tradisional di zona 1 alias di wilayah laut 0-4 mil. Ini bakal mempersempit ruang gerak nelayan tradisional.
"Di ruang laut 0 sampai 4 mil, nelayan kecil harus bertarung dengan proyek reklamasi, tambang, pembuangan limbah dan sebagainya. Kebijakan ini mempersempit ruang tangkap nelayan," pungkas Parid.