Korporat RI Semakin Tertekan Imbas Dolar Melonjak, Apa yang Perlu Dilakukan?

1 April 2020 19:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Nilai tukar dolar AS terhadap rupiah masih menunjukkan tren penguatan. Per Rabu sore ini, dolar AS bertengger di posisi Rp 16.450 per USD. Jumlah itu melonjak dari Rp 16.367 per dolar pada Selasa (31/3).
ADVERTISEMENT
Melonjaknya dolar ini berdampak bagi berbagai sektor. Tak terkecuali, korporat dalam negeri yang selama ini mengandalkan utang luar negeri dengan dolar.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, membenarkan hal itu. Sebab, tidak semua perusahaan swasta Indonesia melakukan hedging atau lindung nilai ketika meminjam utang luar negeri. Sehingga, bila dolar meroket utang-utangnya pun naik.
Dampak selanjutnya, kata dia, kenaikan dolar tersebut juga akan mengerek beban biaya cicilan yang mesti dibayar oleh korporat. Bahkan, ancaman terburuk bisa gagal bayar (default).
"Selisih kurs akan membuat beban biaya cicilan pokok dan bunga naik. Depresiasi rupiah terhadap dolar sejak setahun lalu mencapai 14,5 persen. Currency missmatch inilah yang tidak sejalan dengan pendapatan korporasi. Resiko default jelas jadi ancaman," ujar Bhima kepada kumparan, Rabu (1/4).
ADVERTISEMENT
Terlebih, kata dia, pandemi virus corona yang menyebabkan perlambatan ekonomi global dan nasional seperti saat ini, turut memperlebar risiko yang bakal dialami korporat.
"Melihat kondisi perekonomian Indonesia yang menurun, bahkan berisiko anjlok dibawah 3,8 persen, tidak menutup kemungkinan lembaga rating internasional melakukan downgrade rating Indonesia. Ini berisiko membuat Indonesia membayar bunga lebih mahal," terang dia.
Pegawai menunjukan uang dolar Amerika Serikat di gerai penukaran uang Ayu Masagung di Jalan Kramat Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Kamis (7/11). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Asia Nikkei melaporkan, di tengah wabah virus corona saat ini, Dolar makin tangguh dan bisa melemahkan mata uang negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Gagal bayar kemudian menjadi ancaman pada perusahaan-perusahaan Asia, yang berpotensi memicu krisis yang lebih luas.
"Sekitar USD 115 miliar utang pasar negara berkembang Asia akan jatuh tempo tahun ini (2020) dan USD 200 miliar tahun depan (2021), menurut data dari Dealogic," seperti dilansir kumparan.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa yang bisa dilakukan dalam kondisi seperti saat ini?
Bhima menuturkan, hal penting yang diperlukan perusahaan saat ini adalah efisiensi biaya. Kemudian, mengatur strategi secepatnya untuk refinancing sebelum muncul ancaman downgrade rating.
"Jangan juga PHK (Pemutusan Hak Kerja) karyawan. Tapi, perusahaan bisa lakukan efisiensi lain misalnya downsizing atau menjual produk dengan ukuran lebih kecil dan harga yang lebih terjangkau ditengah tekanan daya beli," ujarnya.
Di sisi lain, berbagai upaya kebijakan pemerintah yang dilakukan kini, sudah cukup baik sebagai insentif yang membantu perusahaan. Namun, perlu keseriusan dalam implementasinya.
"Sebenarnya sudah banyak insentif untuk perusahaan mulai dari penurunan Pph 21, Pph badan dan lain-lain dalam paket yang sudah, dan akan dikeluarkan Jokowi dalam Perppu. Nanti tinggal implementasinya yang penting," ujarnya.
ADVERTISEMENT