Lagi Corona, Mendag Bikin Aturan yang Dianggap Ganggu Ekspor Batu Bara dan CPO

20 April 2020 15:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2020 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut Nasional dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.
ADVERTISEMENT
Dalam aturan ini, eksportir batu bara dan minyak kelapa sawit (CPO), importir beras, dan barang pengadaan pemerintah untuk menggunakan angkutan laut dan asuransi nasional. Kewajiban penggunaan kapal nasional berlaku untuk penggunaan angkutan laut dengan kapasitas sampai dengan 15.000 deadweight tonnage (DWT). Eksportir masih boleh mengirim barangnya menggunakan kapal asing jika volumenya di atas 15 ribu DWT.
Tetapi meski aturan kewajiban penggunaan kapal nasional hanya diberlakukan kepada angkutan dengan kapasitas sampai 15.000 DWT, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) tetap menilai ketentuan tersebut menghambat sebagian ekspor ke beberapa negara.
Sebuah kapal tongkang membawa batu bara yang menunggu masuk bongkar muat di pelabuhan tanjung priok. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
APBI memperkirakan 5 persen ekspor batu bara akan terhambat jika diwajibkan menggunakan kapal nasional. Untuk diketahui, produksi batu bara Indonesia pada 2019 mencapai 610 juta ton, sebanyak 472 juta ton di antaranya diekspor. Maka 5 persen dari ekspor batu bara dalam setahun sekitar 23,6 juta ton.
ADVERTISEMENT
"Secara volume diperkirakan tidak lebih dari 5 persen dari total ekspor kita. Ada ekspor thermal coal ke Singapura, Filipina, Myanmar, Vietnam, Malaysia, ada juga yang semisoft coking coal (non-thermal) yang ke Jepang. Aturan tersebut masih belum memenuhi aspirasi dari eksportir batu bara agar ekspor tidak terganggu dan tidak muncul beban biaya tambahan," kata Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia kepada kumparan, Senin (20/4).
Ia menjelaskan, Permendag No.40/2020 bakal menimbulkan tambahan biaya tambahan bagi eksportir. Sebab, selama ini ekspor batu bara menggunakan skema Free on Board (FOB). Biaya untuk asuransi ditanggung oleh pembeli di luar negeri.
Foto udara menara pantau perkebunan sawit di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
"Aturan kewajiban penggunaan asuransi nasional yang masih tetap berlaku akan menimbulkan beban biaya tambahan yang tidak perlu bagi eksportir karena dalam skema ekspor FOB, cargo itu telah diasuransikan oleh pihak importir," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Permendag No. 40/2020 dan salinannya baru dapat diakses publik 17 April, jangka waktunya singkat sekali dan tanpa sosialisasi yang memadai. "Apalagi di tengah situasi seperti ini akan menyulitkan eksportir yang mana dalam praktiknya nominasi kapal untuk ekspor umumnya membutuhkan waktu rata-rata 1 hingga 2 bulan," papar Hendra.
Karena itu, ia pesimistis eksportir batu bara dapat memenuhi kewajiban penggunaan kapal dan asuransi nasional sesuai Permendag No. 40/2020. "Penerapan kewajiban penggunaan kapal dan asuransi nasional di dalam Permendag No. 40/2020 spirit-nya tidak sejalan dengan upaya bersama untuk mendorong ekspor komoditas andalan kita agar lebih efisien dan kompetitif di tengah situasi Pandemi COVID-19 ini," tegasnya.
Dihubungi secara terpisah, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) juga memprotes Permendag No.40/2020. Sekjen Gapki, Kanya Lakshmi Sidarta, meminta pemberlakuan kewajiban penggunaan kapal dan asuransi nasional ditunda atau bahkan dibatalkan agar tidak menghambat ekspor CPO.
ADVERTISEMENT
"Kami para pelaku CPO memohon untuk sebaiknya ditunda saja bahkan sebaiknya tidak diberlakukan terhadap CPO. Produk CPO dan produk turunan sawit lainnya umumnya diangkut bersamaan dalam kapal yang sama, jadi jika perlakuannya berbeda antara CPO dan produk sawit turunan lainnya tentu akan sangat menyulitkan. Singkatnya, pemberlakuan ini akan lebih melemahkan daya saing sawit kita di luar negeri di samping menambah munculnya biaya yang tidak efisien," tutupnya.