Lewat UU Cipta Kerja, Sri Mulyani Bakal Cegat Wajib Pajak Nakal

19 November 2020 19:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani saat melantik Kepala BKF dan Dirut LMAN. Foto: Dok. Kemenkeu RI
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani saat melantik Kepala BKF dan Dirut LMAN. Foto: Dok. Kemenkeu RI
ADVERTISEMENT
Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai turunan dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja klaster perpajakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan RPP ini disusun untuk memperbaiki sektor perpajakan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang diperbaiki lewat RPP tersebut adalah soal sanksi pajak. Besaran sanksi akan diturunkan sehingga tidak ada lagi upaya penghindaran pajak.
“Kita lakukan pengaturan ulang mengenai sanksi administrasi pajak dan imbal bunga yang dianggap lebih adil. Sehingga bisa menimbulkan sikap pengusaha yang lebih kooperatif. Pengusaha tidak menggunakan semua ikhtiarnya dan kemampuan mengakal-akali dan menghindar pajak karena aturannya sangat sulit dan sanksinya tinggi yang menyebabkan mereka terus menerus akan berikhtiar,” ujar Sri Mulyani dalam Webinar Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja Sektor Perpajakan, Kamis (19/11).
Artinya UU Cipta Kerja bakal mengatur ulang sanksi administrasi pajak yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam beleid lama, sanksi bunga atas denda administrasi yang ditetapkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak adalah sebesar 2 persen. Besaran sanksi inilah yang nantinya akan diturunkan melalui UU Ciptaker.
ADVERTISEMENT
“Kita coba rasionalkan di dalam rangka mendorong sikap yang lebih positif kooperatif. Tapi kita tetap lakukan enforcement apabila wajib pajak tidak patuh,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Pajak Suryo Utama mengatakan melalui UU Cipta Kerja pemerintah menetapkan sanksi administrasi perpajakan per bulan yakni dengan memperhitungkan tingkat suku bunga acuan ditambah persentase tertentu dan dibagi 12 persen.
Adapun menurut Suryo, tingkat suku bunga acuan yang digunakan adalah yang nantinya akan ditetapkan oleh menteri keuangan. Sedangkan persentase tertentu, ditentukan berdasarkan jenis sanksi.
Menkeu Sri Mulyani (kiri) bersama Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta. Foto: Sigid Kurniawan/POOL/ANTARA FOTO
Misalnya, untuk sanksi bunga atas kekurangan bayar karena pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan SPT masa, akan diberlakukan persentase sebesar 5 persen.
“Yang jadi pembeda pada penerapan sanksi adalah tingkat kesalahan. Kalau kesalahan misalnya terlambat bayar, dan dia dibetulkan sendiri, pasti sanksi lebih murah,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, seorang wajib pajak mengalami keterlambatan bayar selama 6 bulan. Namun yang bersangkutan secara sadar melakukan pembetulan sendiri. Sehingga ditambah bobot 5 persen. Misalnya nantinya suku bunga yang ditetapkan adalah 6 persen, sehingga 6 persen (6 bulan) ditambah 5 persen (bobot persentase) hasilnya 11 persen dibagi 12 persen. Sehingga denda yang dikenakan kurang dari 1 persen per bulan.
“Jadi 1 bulan kalkulasi kurang dari 1 persen. Dan ini jauh lebih kecil dari sanksi sekarang,” ujarnya.
Kedua, untuk sanksi bunga atas kurang bayar pajak karena penetapan Surat Ketetapan Pajak (SKP), akan diberlakukan persentase 10 persen dibagi 12 persen.
Ini artinya, jika keterlambatan ditemukan oleh petugas pajak maka bobot yang berlaku adalah 10 persen. Jika terlambat 6 bulan, dengan asumsi tingkat suku bunga 6 persen maka perhitungannya yaitu 6 persen (6 bulan) ditambah 10 persen (bobot persentase) dibagi 12 persen. Hasilnya wajib pajak harus membayar sanksi sebesar 1,3 persen per bulan. Hitungan ini juga masih lebih rendah dibanding aturan lama sebesar 2 persen.
ADVERTISEMENT
“Berbeda lagi kalau pengungkapan. Jadi sudah diperiksa ternyata ada yang kurang atau disembunyikan. Bobotnya 15 persen. Jadi ditambah 6 persen hasilnya 21 persen dibagi 12 persen, masih kurang dari 2 persen,” ujar Suryo.
Sehingga menurutnya struktur sanksi ini dibuat untuk mendorong kepatuhan wajib pajak. Di sisi lain pemerintah juga ingin memberikan pemahaman bahwa pajak merupakan kewajiban yang harus dibayar. Namun di waktu bersamaan pemerintah juga ingin memberikan kemudahan.
Cost is cost tapi enggak terlalu tinggi. Kita mendorong supaya wajib pajak lebih taat. Lakukan pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan. Bahasa sederhananya seperti itu. Dengan UU Ciptaker bagaimana kita bisa mendorong kepatuhan wajib pajak, dengan cara yang lebih murah sanksinya,” tutup Suryo.
ADVERTISEMENT