Luhut: RI Butuh 270 Ribu Sarjana Teknik di 2025, Yang Ada Hanya 27 Ribu

3 Juni 2020 20:11 WIB
Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hilirisasi minerba jadi salah satu skenario yang dipilih pemerintah untuk memulihkan ekonomi dari dampak COVID-19. Namun, rencana hilirisasi minerba bakal terkendala oleh kurangnya sumber daya manusia yang potensial di bidang tersebut.
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, jumlah tenaga kerja yang merupakan lulusan sarjana dan diploma dalam bidang teknik masih sangat sedikit.
"Pada tahun 2025 Indonesia diproyeksi akan membutuhkan 276.298 lulusan Sarjana Teknik dan 458.876 lulusan Vokasi Teknik. Sedangkan ketersediaan untuk S1 diproyeksi hanya berjumlah 27.721 orang dan 5.634 orang D3," ujar Luhut melalui keterangan tertulis, Rabu (3/6).
Artinya, akan ada kekurangan tenaga S1 Teknik sebesar 248.577 dan D3 Teknik 453.243 pada tahun 2025. Selain itu, menurut data BPS tahun 2019, sebanyak 52,4 juta tenaga kerja di Indonesia berpendidikan SD ke bawah.
Ilustrasi pekerja konstruksi Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kemudian yang berlatar belakang lulusan SMP 22,9 juta orang, 23,1 juta lulusan SMA, serta 14,6 juta lulusan SMK. Sedangkan yang lulusan diploma hanya 3,6 juta dan 12,61 juta yang berlatar belakang sarjana.
ADVERTISEMENT
"Ini adalah tantangan serius bagi pemerintah yang tengah gencar melakukan hilirisasi industri minerba. Padahal, industri hilirisasi membutuhkan lulusan sarjana dan vokasi teknik dalam jumlah yang sangat besar," jelas Luhut.
Atas dasar itu, Luhut ingin Kementerian Perindustrian, Kemendikbud, hingga Kemenaker, merumuskan program pengembangan studi serta kurikulum pendidikan vokasi, khususnya terkait industri logam.
"Saya berharap ada kepaduan dalam merumuskan kebijakan ini, tidak bisa ada satu sektor yang merasa dirinya yang paling mengatur karena yang harus dikedepankan adalah kepentingan nasional. Jadi tidak bisa hanya bermuara pada kepentingan sektoral," ujarnya.