Mantan Dirjen Pajak Usulkan SIN untuk Dorong Penerimaan Negara

28 Mei 2021 17:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hadi Poernomo. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
zoom-in-whitePerbesar
Hadi Poernomo. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dirjen Pajak periode 2001-2006, Hadi Poernomo, mengatakan bahwa penerapan Single Identity Number (SIN) Pajak dapat menjadi solusi untuk optimalisasi dan mendorong penerimaan negara. Sebab, dengan menggunakan konsep link and match pada SIN Pajak, otoritas pajak akan dapat memetakan sektor mana yang belum tersentuh pajak atau celah dalam perpajakan.
ADVERTISEMENT
"SIN Pajak mampu menyediakan data wajib pajak yang belum membayar kewajiban perpajakannya," ujar Hadi dalam sebuah diskusi Optimalisasi Penerimaan Pajak Melalui Penerapan SIN Pajak Demi Kemandirian Fiskal Indonesia, Jumat (28/5).
Dia menjelaskan, uang atau harta baik dari sumber legal maupun ilegal akan digunakan dalam tiga sektor, yaitu konsumsi, investasi, dan tabungan. Sektor-sektor tersebut wajib memberikan data dan interkoneksi dengan sistem perpajakan. Artinya, uang dari sumber legal maupun ilegal tersebut dapat terekam secara utuh dalam SIN Pajak.
Nantinya, wajib pajak yang menghitung pajak dan mengirimkan Surat Pemberitahuan (SPT) ke Ditjen Pajak. Nah SIN Pajak ini juga akan memetakan data yang benar dan data yang tidak benar, serta data yang tidak dilaporkan dalam SPT.
ADVERTISEMENT
Artinya, kata Hadi, tidak ada harta yang dapat disembunyikan oleh wajib pajak. Sehingga, wajib pajak akan patuh dan jujur melaksanakan kewajiban perpajakannya, karena tidak adanya celah penghindaran kewajiban perpajakan.
"Dengan optimalisasi penerimaan perpajakan tersebut tentu penerimaan perpajakan akan mencapai target, bahkan akan sangat dimungkinkan akan dapat melebihi target pajak yang telah ditetapkan," jelasnya.
Ilustrasi pajak Foto: Pixabay
Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan itu juga menuturkan, dengan SIN Pajak, penerimaan negara dapat melebih target. Sehingga akan tercipta kemandirian fiskal negara.
Konsep SIN Pajak sebenarnya dimulai pada 31 Desember 1965, di mana Presiden Soekarno mengeluarkan Perpu 2/1965 mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. Namun, tahun 1983 melalui UU 6/1983 terjadi reformasi perpajakan dengan pemberlakuan Self Assessment System yang memberikan kewenangan wajib pajak untuk menghitung sendiri mengenai penghasilannya dalam SPT.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya yang terjadi adalah wajib pajak merasa mendapatkan kesempatan untuk melakukan manipulasi SPT, karena Ditjen Pajak tidak memiliki data pembanding atas SPT tersebut. Sehingga, perlu adanya sebuah alat untuk memonitor self assessment system tersebut, menjadi monitored self assessment system.
Konsep transparansi pada Perpu 2/1965 tersebut dibangun kembali mulai tahun 2001 melalui Grand Strategy Ditjen Pajak, disusul dengan Keputusan Bersama Pemerintah dan DPR pada 16 Juli 2001. Konsep tersebut dituangkan dalam UU 19/2001 pada 14 November 2001.
Berdasarkan hal tersebut, sejak 2001 Ditjen Pajak melakukan penandatanganan MoU dengan pihak terkait baik dari Pemerintah Pusat/Daerah, Lembaga, Swasta dan Pihak-pihak lain untuk membuka data baik yang non rahasia baik data finansial maupun non finansial, dan menyambungkan data tersebut secara sistem ke DJP.
Ilustrasi Pajak Foto: Shutterstock
Pada 17 Juli 2007, kemudian DPR mengesahkan UU 28/2007 di mana di dalamnya, yaitu pada Pasal 35A diatur mengenai SIN Pajak, yakni setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Ditjen Pajak.
ADVERTISEMENT
“Era tersebut memberi kewajiban semua pihak, baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain wajib untuk saling membuka dan menyambung sistem ke pajak yang non rahasia baik yang finansial/non finansial ke Ditjen Pajak,meskipun masih adanya beberapa hambatan terkait masih diperbolehkannya rahasia pada UU lain, seperti UU mengenai perbankan,” jelasnya.
Presiden Joko Widodo selanjutnya mengeluarkan Perpu 1/2017 yang mengatur secara khusus akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam rangka memenuhi komitmen AEoI. Perpu tersebut kemudian pada 8 Mei 2017 disahkan lembaga legislatif melalui UU 9/2017.
UU itu secara legal formal menggugurkan ketentuan kerahasiaan dalam beberapa UU, antara lain UU tentang perbankan. “Sehingga, semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain, wajib untuk membuka dan terhubung ke dalam sistem perpajakan, baik data yang bersifat rahasia maupun non rahasia dan data finansial maupun non finansial,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT