Manufaktur RI Dinilai Masih Kuat, Barang Impor Murah dari China Jadi Tantangan

24 Juli 2024 10:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana aktivitas kendaraan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok. Foto: ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
zoom-in-whitePerbesar
Suasana aktivitas kendaraan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok. Foto: ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indeks manufaktur Indonesia atau Purchasing Manager’s Index (PMI) mengalami perlambatan di Juni 2024 menjadi 50,7, dari bulan sebelumnya 52,1. Meski melambat, indeks manufaktur RI masih menunjukkan ekspansi karena nilainya yang masih di atas 50.
ADVERTISEMENT
Adapun indeks manufaktur ASEAN di Juni 2024, yaitu Malaysia (49,9), Myanmar (50,7), Filipina (51,3), Thailand (51,7) dan Vietnam (54,7).
Ekonom Universitas Brawijaya, Wildan Syafitri, mengatakan manufaktur RI masih yang terkuat di ASEAN, seperti Thailand dan Vietnam yang memiliki nilai manufacturing value added (MVA) hanya setengah dari Indonesia, yakni masing-masing USD 128 miliar serta USD 102 miliar.
Bahkan jika dibandingkan negara-negara lain di dunia, Indonesia berada diposisi ke-12 top manufacturing countries by value added, dengan nilai MVA sebesar USD 255 miliar.
“Pencapaian sektor industri manufaktur Indonesia patut diapresiasi karena ini adalah pencapaian yang positif mengingat dalam situasi krisis justru Indonesia dapat meningkatkan efisiensi industri manufaktur,” ujar Wildan dalam keterangannya, Rabu (24/7).
ADVERTISEMENT
Dalam lima tahun terakhir, data MVA Indonesia yang dirilis Bank Dunia juga menunjukkan peningkatan. Data terbaru kinerja sektor industri manufaktur juga menunjukkan angka positif.
Sektor industri pengolahan nonmigas pada triwulan I tahun 2024 menjadi penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional terbesar, yaitu 17,47 persen dengan pertumbuhannya sebesar 4,64 persen dan memberikan penerimaan pajak terbesar hingga 26,9 persen.
Proses produksi dan perakitan motor listrik merek ALVA di pabrik berlokasi di Cikarang, Jawa Barat. Foto: ALVA Indonesia
Di sisi ekspor, nilai pengiriman produk industri pengolahan nonmigas pada semester I tahun 2024 mencapai USD 91,65 miliar atau setara 73,27 persen dari total ekspor nasional, dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 18,82 juta orang. Selain itu, realisasi investasi sektor industri manufaktur pada periode yang sama mencapai 38,73 persen, dengan nilai Rp155,5 triliun.
ADVERTISEMENT
“Tren positif ini dapat kita maknai sebagai peningkatan efisiensi industri. Kondisi ini juga cerminan dari kekuatan industri dalam memberikan kontribusi pada perekonomian Indonesia merupakan cerminan dan gambaran dari sejauh mana kekuatan industri dalam perekonomian nasional,” jelasnya.
“Performa ini didorong selain karena Indonesia bisa memanfaatkan krisis supply chain akibat perang Rusia-Ukraina juga karena peran dari pembangunan infrastruktur, investasi serta peningkatan kemampuan SDM,” lanjut Wildan.
Selain itu, posisi industri manufaktur Indonesia juga berada di atas negara-negara di ASEAN lainnya seperti Thailand yang ada pada peringkat ke-22 dan Vietnam yang ada pada peringkat ke-24. Menurut Wildan, pencapaian tersebut menunjukkan kemajuan yang signifikan dari kebijakan hilirisasi industri dan kebijakan investasi yang baik.
ADVERTISEMENT
“Jika dicermati lagi nilai tambah ini lebih banyak pada komoditi ekstraktif, dengan hilirisasi nilai tambah dari komoditi meningkat, diperkuat dengan demand terhadap komoditi strategis seperti nikel dan bahan-bahan rare earth. Indonesia bisa menggenjot lagi dari sisi inovasi industri untuk mengurangi ekspor bahan setengah jadi dan meningkatkan ekspor barang jadi,” tutur Wildan.
Wildan mengatakan, pencapaian tersebut sebagai salah satu upaya Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sembari mengingatkan untuk mendorong inovasi dan riset, kemudahan investasi, meningkatkan kualitas SDM yang memiliki keterampilan selain untuk memenuhi permintaan tenaga kerja di dalam negeri juga untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja di sektor industri.
Tantangan Barang Impor Murah dari China
Wildan juga menyoroti maraknya impor barang-barang murah dari China yang menyerbu Indonesia. Menurutnya, impor barang murah dari China sudah lama terjadi dan China terus melakukan inovasi dan penetrasi pasar Indonesia melalui penguatan efisiensi dan skala ekonomi sehingga biaya rata rata yang rendah menyebabkan komoditi mereka semakin kompetitif.
ADVERTISEMENT
“Perubahan selera pasar yang cepat serta potensi pasar di masa mendatang bisa diadaptasi dengan baik oleh manufaktur China dan didukung oleh infrastruktur yang baik dan kemudahan investasi. Jika kondisi ini berlangsung terus maka lambat laun akan mematikan industri dalam negeri. Industri dalam negeri perlu lebih baik beradaptasi dengan tren permintaan pasar dan regulasi pemerintah perlu menjaga industri dalam negeri dari serangan impor ini,” ungkap Wildan.
Terkait impor ini, ia pun meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menjaga industri dalam negeri.
“Kementerian Perdagangan perlu meningkatkan standardisasi produk impor untuk mencegah meningkatnya impor komoditi. Sementara Kementerian Keuangan harus melakukan kontrol pada bea masuk pada komoditi tertentu, mengurangi fasilitas kredit impor, serta tak lupa meningkatkan fasilitasi finansial untuk eksportir,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT