Mau Genjot Ekspor, RI Jangan Asal Kebut Perjanjian Dagang

27 Oktober 2019 20:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di Pelabuhan Tanjung Priok yang dikelola PT Pelindo II, saat crane membongkar muat peti kemas dari kapal-kapal kargo. Foto: Wendiyanto Saputro/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Pelabuhan Tanjung Priok yang dikelola PT Pelindo II, saat crane membongkar muat peti kemas dari kapal-kapal kargo. Foto: Wendiyanto Saputro/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam rapat kabinet perdana pada Kamis (24/10), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mempercepat penyelesaian perjanjian dagang dengan berbagai negara supaya ekspor produk-produk Indonesia bisa mendapat kemudahan.
ADVERTISEMENT
Menurut Jokowi, banyak produk ekspor Indonesia yang kalah bersaing karena ketiadaan perjanjian dagang. Misalnya di industri tekstil, produk asal Vietnam bisa lebih mudah masuk ke Uni Eropa karena sudah memiliki perjanjian dagang. Jumlah perjanjian dagang yang ditarget untuk dirampungkan hingga 2020, yaitu sebanyak 12 perjanjian.
Terkait hal ini, kalangan ekonom menilai Indonesia perlu lebih selektif dalam menjalin perjanjian dagang. Pasalnya, perjanjian dagang yang asal-asalan justru bisa bikin nilai impor membengkak.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menekankan pentingnya mengkaji ulang perjanjian-perjanjian dagang yang banyak di antaranya yang justru membuat banjir impor hingga memperbesar defisit neraca perdagangan. Sebabnya, Indonesia kerap tak cermat hingga kurang tepat sasaran dalam membidik kerja sama dagang.
"Perjanjian dagang itu banyak yang ngerugiin Indonesia, misalnya perjanjian dagang Indonesia-Australia, sapi gandum dari mereka (Australia) itu kan makin membanjiri impor Indonesia, tapi Australia tidak dipandang sebagai tujuan ekspor Indonesia," ujar Bhima kepada kumparan, Minggu (27/10).
ADVERTISEMENT
Dibandingkan membuka perjanjian dagang namun kurang jelas tujuan dan fokusnya, ia memandang Indonesia lebih baik menggenjot produk-produk yang memang potensial menguntungkan.
"Indonesia perlu belajar dari Vietnam, dia spesifik per produk misal otomotif, tolong biaya masuk ke AS diturunin, sementara AS membuka dua tiga barang dengan tarif lebih murah," kata dia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Ekonom INDEF lainnya yang berfokus di kajian China, Muhammad Zulfikar pun sepakat. Ia mengambil contoh, perjanjian perdagangan Indonesia dengan China menurutnya masih banyak ketimpangan yang ditemukan. Padahal, konsep perjanjian perdagangan itu mestinya menguntungkan satu sama lain.
"Jadi kita hanya menerima dari pihak sebelah (China) sekitar 70:30 persen. Itu misalnya untuk barang-barang yang digunakan di pabrik, bahan baku. Pada faktanya Indonesia lebih banyak menerima daripada mengirim, China punya produk yang lebih murah," imbuh Zulfikar.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kata Zulfikar, Indonesia juga mesti harus serius memetakan produk-produk ekspor yang bisa dijual di pasar ekspor. Contohnya saja, bidang pertanian yang masih bisa dikembangkan.
Perlu Kaji Ulang
Hal mendesak yang harus pemerintah lakukan di periode sekarang ialah mengkaji ulang perjanjian perdagangan yang dicetuskan. Ekonom INDEF, Ahmad Heri Firdaus, menyatakan bahwa Indonesia boleh saja menjalankan keterbukaan ekonomi dengan berbagai kerja sama ekonomi dan investasi, namun harus yang memang menjanjikan.
Di antaranya, menurutnya perlu melihat kondisi negara mitra, kondisi perdagangan, kemampuan pasar hingga potensi yang lebih besar dari kerja sama itu.
"Negara-negara kecil banyak yang ngajakin kita kerja sama, Somalia misalnya dengan tingkat ekonomi di level bawah, bisa jadi celah kita untuk membuat pasar lebih luas, ke negara satu kawasannya Afrika," kata dia.
ADVERTISEMENT
Di situ lah, kata dia, peran market intelligent diperlukan bagi Indonesia yang tersebar di negara-negara pasar potensial. Perannya ialah mengkaji kebutuhan pasar, selera konsumen, hingga penetrasi pasar atau saingan yang juga membidik negara tersebut.
"Kalau mau kerja sama dengan negara manapun, harus tahu kondisi mereka, istilahnya kita sparing harus tahu kekuatan lawan," ujarnya.
Tak kalah penting, Heri menjelaskan bahwa pemerintah juga harus membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung iklim perdagangan Indonesia kian berkembang. Misalnya saja, aturan-aturan penerapan standar yang jelas untuk membendung agar produk impor tak bisa sembarang membanjiri Indonesia.
"Tapi jangan blunder juga, kita melarang produk tidak ber-SNI dari luar negeri, sementara kita tak bikin produk sesuai SNI. Kita bisa dituntut diskriminasi, hati-hati juga membuat aturan," kata Heri.
ADVERTISEMENT