Mengintip Kocek Mitratel Usai Borong 6.000 Menara Telkomsel Rp 10,28 Triliun

18 Agustus 2022 9:41 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direksi Mitratel atau PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk, (kiri ke kanan) Direktur Bisnis, Noorcahyati Candrasuci; Direktur Utama, Theodorus Ardi Hartoko; Direktur Investasi, Hendra Purnama.  Foto: Wendiyanto Saputro/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direksi Mitratel atau PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk, (kiri ke kanan) Direktur Bisnis, Noorcahyati Candrasuci; Direktur Utama, Theodorus Ardi Hartoko; Direktur Investasi, Hendra Purnama. Foto: Wendiyanto Saputro/kumparan
ADVERTISEMENT
PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk atau Mitratel menambah koleksi menara telekomunikasi, dengan mengakuisisi 6.000 menara milik Telkomsel. Untuk merealisasikan Jual Beli atau Sales Purchase Agreement (SPA) dilakukan pada Jumat (29/7) itu, emiten berkode MTEL tersebut harus merogoh kocek sebesar Rp 10,28 triliun.
ADVERTISEMENT
Direktur Investasi Mitratel, Hendra Purnama, dalam media gathering di kawasan Senayan, Jakarta, Selasa (2/8) menjelaskan aksi korporasi itu sepenuhnya didanai dari kas sendiri. Sebagai gambaran, dari penawaran saham umum perdana atau Initial Public Offering (IPO) pada 22 November 2021, MTEL meraup dana Rp 18,79 triliun.
Ini menjadikan perolehan dana kedua terbesar dari IPO di sepanjang 2021 lalu, setelah Bukalapak (BUKA) yang meraup Rp 21,9 triliun.
Bisnis menara telekomunikasi masih menjanjikan keuntungan besar, mengingat tiga variabel yang mendorong permintaan kapasitas menara, menunjukkan tren pertumbuhan yang atraktif. Ketiga variabel itu yakni pertama, data payload yang tumbuh 26 persen secara CAGR pada rentang 2020-2026.
Menara telekomunikasi Mitratel. Foto: Mitratel
Seperti diketahui, sepanjang masa pandemi COVID-19 akses internet meningkat pesat, karena masyarakat menggunakan yang serba online untuk menghindari kontak antar-manusia. Konsumsi data internet diyakini akan tetap tinggi, meski di era new normal seperti saat ini. Sehingga, sektor ini dinilai masih memiliki outlook yang cerah.
ADVERTISEMENT
Kedua, penetrasi koneksi 5G yang terus meningkat. Pada 2025 misalnya, ditaksir mencapai 27 persen dari total pengguna koneksi mobile. Yang ketiga, teknologi yang serba internet atau internet of thing (IoT), sehingga pada 2025 ditaksir jumlah perangkat berinternet mencapai 500 juta unit.
Hal tersebut memicu optimisme Mitratel yang kini jadi raja menara telekomunikasi, tak hanya di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Jumlah koleksi menara yang dimiliki Mitratel mencapai sekitar 34.800. Jumlah itu melampaui PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) dengan 27.985 menara, serta PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) yang memiliki 20.578 menara.
Menurut Hendra, dari 6.000 menara yang baru diakuisisi saja, pihaknya mendapat backlog pendapatan hingga Rp 6,9 triliun dalam 10 tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
58 Persen Menara di Luar Jawa: Peluang atau Tantangan?
Riset bisnis Mitratel. Foto: kumparan
Sebagai raja menara telekomunikasi, Mitratel mencatat kepemilikan sekitar 34.800 menara yang ada saat ini tersebar di seluruh Indonesia dengan porsi 58 persennya berada di luar Jawa. Hal ini menjadikan perseroan memiliki ruang lebih besar untuk meningkatkan tenancy ratio atau rasio penyewaan oleh klien secara agresif ke depannya.
Untuk mencapai hal tersebut, Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko atau akrab disapa Teddy Hartoko, mengatakan Mitratel telah menyediakan skema bisnis baru yang ditawarkan kepada para operator telekomunikasi dengan skema bundling dan total solution.
Direktur Utama Mitratel, Theodorus Ardi Hartoko, memberi paparan di acara Media Gathering, Selasa (2/8). Foto: Wendiyanto Saputro/kumparan
Sehingga, operator telekomunikasi hanya perlu menentukan menara mana yang diinginkan, kemudian Mitratel akan menyiapkan semua sarana penunjangnya. Hal ini diharapkan dapat memudahkan operator untuk meningkatkan layanannya kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Adapun saat ini tenancy ratio Mitratel ada di 1,53 kali. Persebaran lokasi menara telekomunikasi yang meluas hingga ke luar Jawa, menyimpan potensi pertumbuhan yang besar. Apalagi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru terus meluas sehingga tak hanya bertumpu di Pulau Jawa.
Apalagi penelitian Puslitbang Sumber Daya, Perangkat, dan Penyelenggaraan Pos dan Informatika Badan Penelitian dan Pengembangan SDM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada 2018 menunjukkan struktur pasar bisnis menara telekomunikasi yang unik. Jika satu pelaku industri sudah masuk ke suatu wilayah, maka itu menjadi entry barrier bagi pelaku industri sejenis yang lain.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, perusahaan menara saat ini memang masih dibutuhkan. Bukan saja untuk menjaga infrastruktur telekomunikasi tapi juga menjadi ekosistem pembangunan ekonomi digital di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sehingga, pertumbuhan kinerja masih sangat besar dalam jangka panjang.
Pandangan senada juga diungkapkan oleh Vice President Infovesta Utama, Wawan Hendrayana. Dia mengatakan, saat ini para operator telekomunikasi lebih optimal fokus pada layanan, sementara pengelolaan menara diserahkan ke perusahaan lain yang hanya fokus pada bisnis tersebut.
Mitratel Menjawab Tantangan Suku Bunga
Dalam kondisi fundamental bisnis yang baik, namun sektor menara telekomunikasi ini juga perlu memperhatikan tantangan dalam jangka pendek. Salah satunya adalah kenaikan suku bunga yang bisa menggerus laba perusahaan.
Hal ini mengingat, porsi utang perusahaan menara, relatif cukup besar. Adapun Bank Indonesia (BI) diprediksi akan menaikkan suku bunga acuan hingga akhir tahun ini, demi menekan laju inflasi. Saat ini suku bunga acuan BI berada di level 3,5 persen.
ADVERTISEMENT
Equity Analyst Pilarmas Investindo Sekuritas, Desy Israhyanti, mengatakan kenaikan suku bunga acuan ini akan membuat ruang gerak para perusahaan akan semakin berat. “Dengan struktur permodalan yang rata-rata banyak dari utang, maka tingkat suku bunga ini membuat ruang gerak menjadi lebih berat, lantaran biaya modal jadi lebih tinggi,” katanya kepada kumparan, Selasa (9/8).
Meski demikian, dari empat perusahaan besar menara yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau emiten, Mitratel memiliki struktur modal paling kuat. Pelaku industri besar di bisnis sejenis dengan Mitratel yakni ada Grup Djarum yang menguasai dua emiten menara.
Keduanya adalah PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) dan PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) . Sebanyak 99,96 persen saham SUPR, saat ini telah diakuisisi oleh TOWR lewat anak usahanya, Protelindo. Kemudian ada juga perusahaan menara milik Grup Saratoga, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG).
ADVERTISEMENT
Desy mengatakan, rata-rata ketiga grup perusahaan menara di atas, memiliki batas debt to equity ratio (DER) yang baik di bawah 5 kali. Adapun DER adalah rasio utang terhadap ekuitas atau rasio keuangan yang membandingkan jumlah utang dengan ekuitas. Maka, semakin kecil DER, maka semakin baik.
Di mana, DER yang terkecil tercatat ada pada Mitratel yang hanya 0,64 kali di kuartal II 2022. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibandingkan TBIG yang DER-nya sebesar 3,12 kali dan TOWR 3,92 kali di kuartal I 2022.
Hingga semester I 2022, Mitratel berhasil membukukan laba tahun berjalan sebesar Rp 891,54 miliar atau melonjak 27,2 persen dibandingkan dengan Rp 700,74 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Pendapatan Mitratel juga naik 15,5 persen secara year on year di paruh pertama tahun ini menjadi Rp 3,73 triliun. Begitu juga dengan EBITDA yang bertambah 16,6 persen secara tahunan menjadi Rp 2,88 triliun.
Begitu juga dengan liabilitas pada akhir semester I 2022 turun 10,4 persen menjadi Rp 21,57 triliun. Hal tersebut terutama berasal dari pembayaran lebih awal utang pinjaman jangka panjang pada semester I 2022.
Infografik Target Kinerja Mitratel 2022. Foto: kumparan
Prospek dan Rekomendasi Saham Mitratel
Desy mengatakan, dalam jangka pendek (hingga akhir tahun), saham Mitratel masih menarik karena sisi tren digitalisasi masih makin berkembang. “Bisnis tower sejatinya menarik, karena merupakan salah satu pendukung telekomunikasi. Sehingga, sektor ini masih akan tetap diminati,” ujarnya yakin.
Untuk itu, aksi akuisisi menara yang masif dari Mitratel ini bisa memperkuat market positioning perusahaan dengan portofolio aset terbanyak. Terlebih lagi, perusahaan juga mendapat dukungan dari sang induk, Telkom Indonesia, baik dari brand image dan sisi keuangannya.
ADVERTISEMENT
“Seperti juga dengan Telkomsel, Mitratel di-support oleh Telkom Group dari sisi data. Seperti diketahui Telkomsel saat ini masih menjadi market leader,” katanya.
Seluruh 6.000 ribu menara yang baru diakuisisi Mitratel dari Telkomsel, saat ini hanya diisi perangkat milik operator selular tersebut. Artinya, masih sangat terbuka peluang besar bagi operator selular lainnya untuk memanfaatkan keberadaan menara telekomunikasi milik Mitratel yang tersebar luas di seluruh Indonesia, termasuk 58 persennya yang berada di luar Jawa.
Sementara dalam jangka panjang, akuisisi 6.000 menara Telkomsel ini juga akan berdampak positif kepada kinerja keuangan perusahaan. Sebab, secara industri kontrak menara berlaku cukup panjang sekitar 10 tahun.
“Dari sisi income, jangka panjang 10 tahun akan semakin banyak (pendapatan),” papar Desy. “Sehingga ke depan, kinerja perusahaan akan diprediksi makin cemerlang,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan hal ini juga terefleksi dari nilai saham perseroan yang terus naik. Sejak aksi korporasi akuisisi 6.000 saham Telkomsel, saham Mitratel sudah naik 2,68 persen secara mingguan dan naik 6,99 persen secara bulanan dengan kinerja yang cukup bagus. Desy merekomendasikan beli saham MTEL dengan target harga Rp 976 per sahamnya.
Infografik perjalanan bisnis Mitratel. Foto: kumparan, data dioleh oleh tim kumparanBISNIS