Mengkritik Jokowi soal Klaim Ekonomi RI Nomor 7 Dunia dan Tudingan Kufur Nikmat

22 Februari 2020 11:14 WIB
Presiden Joko Widodo.  Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memamerkan bahwa ekonomi Indonesia berada di peringkat 7 dunia berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) atau paritas daya beli.
ADVERTISEMENT
Jokowi juga menjelaskan bahwa Indonesia sudah masuk dalam G20, yakni kelompok negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia berdasarkan Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP) yang dihasilkan. Nilai PDB Indonesia mencapai USD 1,111 triliun pada 2018.
PDB Indonesia, lanjut Jokowi, terbesar ke-16 di seluruh dunia. Kata Jokowi, hal tersebut adalah sesuatu yang patut disyukuri. Namun menurutnya banyak yang tidak paham dan terlalu banyak mengeluh. Ia menuding banyak yang kufur nikmat.
"Negara kita ini sekarang sudah masuk yang namanya G20, Indonesia GDP nominalnya kalau dihitung kita itu berada di ranking ke-16, kalau dihitung dengan GDP PPP itu berada di ranking ke-7 dunia. Ini ini banyak yang enggak ngerti, banyak yang masih mengeluh, tidak bersyukur. Namanya kufur nikmat itu. Sudah diberi kenikmatan oleh Allah sebegitu gedenya tapi tidak disyukuri. Marilah kita syukuri diberikan apa pun oleh Yang Maha Kuasa," ujar Jokowi.
Presiden Joko Widodo. Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
Menanggapi hal tersebut, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, data-data tersebut sejatinya bukan sesuatu yang baru dan tidak dapat diklaim sebagai prestasi pemerintahan Jokowi.
ADVERTISEMENT
“Pak Jokowi, soal Indonesia masuk negara di G20 itu bukan informasi baru, Pak. Otomatis kalau masuk dalam G20 artinya PDB Indonesia masuk dalam kelompok paling besar di dunia. Jadi tidak ada informasi baru,” ungkap Bhima kepada kumparan, Sabtu (22/2).
Justru menurut Bhima, hal tersebut malah menimbulkan pertanyaan besar. Jika benar ekonomi Indonesia terbesar ke 7 di dunia, mengapa pendapatan per kapita penduduk masih rendah? "Ini harus jadi perhatian. Artinya potensi Indonesia belum dioptimalkan," tegasnya.
Masyarakat Jakarta yang tinggal di bantaran kali. Foto: REUTERS/Beawiharta
Selain itu, kalau benar ekonomi Indonesia terbesar ke-7 di dunia, perlu diingat bahwa kenyataannya Indonesia belum jadi negara maju. Data-data di atas kertas belum tentu sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Sulitnya Indonesia jadi negara maju menurut Bhima salah satunya disebabkan minimnya riset yang dilakukan oleh negara ini. Usut punya usut, ternyata dana untuk riset bahkan tidak sampai 1 persen dari PDB.
ADVERTISEMENT
“Belanja riset terhadap PDB kita 0,3 persen. Jadi PDB besar kalau kualitas risetnya rendah ya susah jadi negara maju sejajar dengan AS dan Korsel,” ujarnya.
Di sisi lain, Bhima juga menyoroti soal industri Indonesia yang porsinya dalam PDB terus merosot hingga di bawah 20 persen terhadap PDB. Artinya di antara negara G20, Indonesia mengalami deindustrialisasi prematur. Di sisi lain, ranking Indonesia dalam inovasi berada di level bawah. Global Innovation Index bahkan menempatkan Indonesia dalam urutan ke-85 dunia.
“Jadi Pak Jokowi daripada membanggakan hal yang semua orang sudah tahu, lebih baik perbaiki kekurangan kekurangan kita. Patut diketahui Indonesia juga belum masuk dalam anggota G7,” tegasnya.

Jokowi Dinilai Gagal soal Pemerataan Pendapatan Penduduk

Selain itu, meski PDB Indonesia nomor 16 dunia namun Jokowi dianggap belum berhasil mengatasi masalah kesenjangan. Ekonom Senior INDEF Didik J. Rachbini, bahkan menilai kesenjangan ekonomi saat ini masih lebih buruk dibandingkan masa Orde Baru.
ADVERTISEMENT
“Banyak program ekonomi Pemerintahan Jokowi, tapi bagaimana hasilnya? Hasilnya gini rasio mengalami sedikit penurunan, tetapi tetap lebih jelek dibandingkan pemerintahan pada masa Orde Baru. Ini jika dilihat dari sekedar angka gini rasio pengeluaran keluarga. Bukan pendapatan yang sebenarnya,” kata Didik.
Pendapatan rata-rata orang Indonesia. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
Menurut Didik, kebijakan pemerataan pembangunan yang dilakukan Pemerintahan Jokowi hanya bersifat instan, sangat minimal. Antara lain karena tidak serius dan tidak kuat.
Dia menilai banyak kebijakan bersifat populis, tapi tanpa strategi. Seperti bagi-bagi uang ke desa karena memang itu desakan politik untuk menyenangkan konstituen.
“Tidak salah kebijakan itu, tetapi itu kategori kebijakan bermutu rendah,” imbuhnya.
Didik mencontohkan Program Dana Desa, sangat politis sekali untuk membeli suara. Hal itu terlihat dari promosi oleh partai politik tanpa desain jelas.
ADVERTISEMENT
“Seperti bagi-bagi uang ke konstituen, seperti bermanfaat tapi kurang produktif. Dana desa naik pesat sekali tapi tetap gini rasio cukup tinggi relatif dibandingkan masa pemerintahan yang lalu,” ujar Didik.
Terkait data gini rasio yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), menurut Didik ada dua kritik yang bisa diajukan terkait klaim pemerintah yang bersumber pada data BPS.
Ekonom Senior INDEF Didik J. Rachbini Foto: Selfy Sandra Momongan /kumparan
Pertama, angka gini rasio pada saat ini masih jauh lebih tinggi dari masa orde baru sehingga penurunan tersebut bukan suatu prestasi khusus. Kedua, angka BPS tersebut hanya bisa dipakai dalam wilayah terbatas semisal ruang akademik, tetapi tidak bisa mengukur masalah kesenjangan nyata di lapangan.
“Alasan data BPS tidak bisa dipakai secara kritis untuk melihat kesenjangan di lapangan karena alat ukur kesenjangan tersebut bukan untuk mengukur kekayaan, tetapi mengukur pengeluaran,” papar Didik.
ADVERTISEMENT
Didik menjelaskan, penting untuk mengganti indikator gini rasio. Sebab meski gini rasio tergolong rendah, tetapi Indonesia bersama Rusia, Thailand, dan India, tergolong sebagai negara yang paling tinggi tingkat kesenjangan ekonominya.