Menristek: Buah Hasil Iradiasi Teknologi Nuklir Bebas Bakteri

5 November 2019 12:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro di Jakarta, Selasa (5/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro di Jakarta, Selasa (5/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah tengah berupaya menggenjot ekspor produk pangan dalam negeri. Salah satu cara yang akan dilakukan adalah dengan menggunakan teknologi nuklir di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan, pendekatan nuklir di sektor pangan bisa membantu mendorong ekspor. Lebih lanjut dia menjelaskan, salah satu kendala Indonesia dalam mengekspor pangan adalah kualitasnya.
“Yang saya ingat produk buah kita kadang-kadang tidak bisa tembus ekspor ke suatu negara gara-gara lalat buah, gara-gara bakteri yang masih ada yang tidak bisa dihilangkan dengan teknologi biasa," katanya di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Selasa (5/11).
Inovasi tersebut, lanjut Bambang dikembangkan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Batan telah sukses memproduksi buah-buahan lokal dengan iradiasi teknologi nuklir.
Buah-buahan sehat (ilustrasi). Foto: Pixabay/Couleur
"Kemarin saya dari Batan dikasih buah-buahan. Saya pikir buah-buahan biasa. Ternyata mereka menunjukkan buah-buahan yang sudah dibersihkan dari semua bakteri termasuk lalat buah sehingga buah itu bisa ready untuk ekspor," terangnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis, Pangan dan Kehutanan Franky O. Widjaja mengatakan pemerintah perlu meningkatkan produksi dengan memperbanyak bibit yang unggul dan berproduksi tinggi. Saat ini, menurutnya, kondisi pembibitan dan pembenihan masih belum terkoordinasikan secara baik.
Pasalnya bibit dan benih yang beredar sangat beragam, dan banyak yang belum terstandarisasi dan kadang-kadang hilang dari pasaran.
"Bibit dan benih bersertifikat yang masih sangat terbatas berakibat pada harga yang cukup mahal, dan banyaknya impor bibit untuk memenuhi kekurangan pasokan. Padahal, banyak bibit impor yang tidak sesuai dengan kebutuhan para petani," tutupnya.