Menyoal Peluang RI Kalah di WTO dalam Gugatan Larangan Ekspor Nikel
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, mengatakan bahwa proses di WTO masih berjalan. Dia memastikan status Indonesia dalam gugatan itu belum dinyatakan kalah.
"Belum (kalah), masih panjang urusannya, masih ada banding dan lain-lain," kata Djatmiko saat dihubungi kumparan, Jumat (9/9).
Disinggung soal pernyataan Presiden Jokowi soal Indonesia kemungkinan akan kalah, Djatmiko tak berkomentar. "Kan sudah saya bilang masih panjang (prosesnya)," ujarnya.
Hal sama disampaikan Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif, Menurut dia, belum ada keputusan apa pun dari sidang WTO tersebut hingga saat ini.
"Masih berproses di WTO," katanya.
Mengutip dari laman resmi WTO, dijelaskan perkembangan terbaru sidang panel terakhir pada November 2021 lalu. Pada 1 November 2021, Ketua panel memberi tahu Badan Penyelesaian Sengketa/Dispute Settlement Body (DSB) bahwa sesuai jadwal yang diadopsi sejauh ini setelah berkonsultasi dengan para pihak, panel memperkirakan akan mengeluarkan laporan akhirnya kepada para pihak pada kuartal terakhir tahun 2022.
ADVERTISEMENT
"Komunikasinya, ketua panel memberi tahu DSB bahwa laporan itu akan tersedia untuk umum setelah diedarkan kepada anggota dalam ketiga bahasa resmi, dan tanggal peredaran tergantung pada penyelesaian terjemahan," seperti dikutip dari laporan WTO.
Berdasarkan Pasal 12.9 Kesepahaman Tentang Aturan dan Tata Cara Penyelesaian Sengketa/Dispute Settlement Understanding (DSU), menetapkan bahwa ketika panel menganggap tidak dapat mengeluarkan laporannya dalam enam bulan, harus menginformasikan kepada DSB secara tertulis dan menunjukkan alasannya, bersama dengan perkiraan periode di mana ia akan mengeluarkan laporannya.
Adapun panel yang dimaksud adalah panel yang dibentuk oleh DSB sesuai permintaan Uni Eropa sebagai penggugat dalam dokumen WT/DS592/3, sesuai dengan Pasal 6 DSU.
Negara-negara yang tergabung adalah Brasil, Kanada, Cina, Jepang, Korea, India, Federasi Rusia, Kerajaan Saudi Arabia, Singapura, Cina Taipei, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Jokowi Menyinggung Soal Kekalahan di WTO
Kendati belum dinyatakan kalah dan proses di WTO masing panjang, sinyal pesimisme justru disampaikan Presiden Jokowi. Namun Jokowi menegaskan keberaniannya dalam mengambil kebijakan meski ditantang negara-negara lainnya.
"Pemimpin enggak perlu takut setop ekspor nikel, enggak apa-apa. Kelihatannya gagal kita di WTO, enggak apa-apa, industrinya sudah jadi dulu, kalah (di WTO) enggak apa-apa, syukur bisa menang," kata Jokowi saat membuka acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2022, Rabu (7/9).
Jokowi menegaskan apabila Indonesia kalah dalam gugatan, Indonesia tetap bisa memperbaiki industri hilirisasi di dalam negeri. "Tapi kalau kalah ya industrinya sudah jadi dulu, enggak apa-apa, ini memperbaiki tata kelola dan nilai tambah di dalam negeri," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Siasat Pemerintah Jika Kalah: Naikkan Pajak
Pemerintah sudah menyiapkan siasat apabila dalam gugatan di WTO itu kalah. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah tetap bisa membuat peraturan untuk melakukan hilirisasi yang maksimal di dalam negeri.
Menurutnya, masih banyak instrumen yang akan dipakai pemerintah Indonesia agar hilirisasi nikel terus berlanjut. Salah satu siasatnya adalah menaikkan pajak ekspor yang tinggi.
Dengan begitu, kata Bahlil, industri baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) juga tidak akan terdampak gara-gara hasil putusan WTO. Dia menilai, Indonesia tidak boleh diatur negara-negara lain.
"Contoh kalau ekspor, kita naikkan pajak yang tinggi memang mereka mau bikin apa? Negara kita enggak boleh diatur negara lain. Kita harus berdaulat dan konsisten untuk program hilirisasi digalakkan," tegas Bahlil kepada wartawan di Gedung DPR, Kamis (8/9).
ADVERTISEMENT
Dia juga meminta agar negara-negara lain tidak merasa lebih hebat dari Indonesia, dan seharusnya menghargai kebijakan yang dibuat untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional.