MTI Pertanyakan Rencana Akuisisi 51 Persen Saham Pengelola KRL oleh MRT Jakarta

13 Januari 2021 13:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas keamanan berjaga saat uji coba pengoperasian MRT (Mass Rapid Transit) fase I koridor Lebak Bulus - Bundaran HI di Stasiun Bundaran HI, Jakarta, Kamis (28/2). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Petugas keamanan berjaga saat uji coba pengoperasian MRT (Mass Rapid Transit) fase I koridor Lebak Bulus - Bundaran HI di Stasiun Bundaran HI, Jakarta, Kamis (28/2). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
ADVERTISEMENT
PT MRT Jakarta berencana mengakuisisi 51 persen saham PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), atau pengelola KRL. Rencana tersebut dimulai tak lama setelah terbentuknya PT Moda Integrasi Jabodetabek (MITJ) atau perusahaan patungan antara MRT dan PT KAI.
ADVERTISEMENT
Salah satu tujuan akuisisi tersebut untuk proses integrasi transportasi Jabodetabek. Pengamat kebijakan publik yang juga Anggota Dewan Penasihat Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Agus Pambagio, mempertanyakan rencana tersebut.
“Kalau bicara integrasi, tidak harus membentuk badan baru yang tak jelas dasar peraturan perundangannya,” kata Agus saat dihubungi, Rabu (12/1).
Agus mengatakan dalam integrasi tiket juga tidak harus dilakukan proses tersebut. Ia menduga langkah akuisisi melalui MITJ itu tidak hanya integrasi saja, tetapi sebagai upaya mengambil alih stasiun dan mengambil keuntungan dari TOD.
Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Agus merasa proses akuisisi tersebut bakal sulit dilaksanakan. Menurutnya, MRT melalui MITJ nantinya juga bakal kerepotan melaksanakan peraturan perundangan, kecuali memang ada revisi baik tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, kata Agus, ada aset negara seperti stasiun yang harus diperhatikan kepemilikannya di Kementerian Perhubungan dan KAI.
ADVERTISEMENT
“Lalu PT MITJ itu kan BUMD bukan regulator, apa bisa menerima Public Service Obligation (PSO) dari pemerintah? Lalu bagaimana PT MITJ dapat menggantikan peran BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) sebagai regulator?” ujar Agus.
Agus menganggap sebenarnya dalam mengatur atau regulator transportasi umum di Jabodetabek termasuk untuk pengintegrasiannya, sudah ada BPTJ. Namun, ia mengakui peran BPTJ memang belum optimal.
Agus mengatakan kurang maksimalnya kinerja BPTJ karena di Jabodetabek masih ada Dinas Perhubungan di masing-masing wilayah. Menurutnya hal tersebut membuat kebijakan BPTJ terkendala peraturan masing-masing Pemda.
“BPTJ merupakan regulator yang sah dengan kepala badan nya merupakan eselon satu di Kementerian Perhubungan. Sehingga buat apa ada PT MITJ yang berbentuk BUMD,” tutur Agus.
ADVERTISEMENT