Nasib Kelapa Sawit RI, Sudah Tersertifikasi tapi Tetap Dijegal Eropa

15 Maret 2019 15:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera Uni Eropa Foto: REUTERS/Yves Herman
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Uni Eropa Foto: REUTERS/Yves Herman
ADVERTISEMENT
Komisi Eropa sudah memutuskan menghentikan minyak kelapa sawit sebagai sumber bahan bakar kendaraan. Keputusan ini diambil, setelah Komisi berkesimpulan bahwa budi daya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan, sehingga penggunaanya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono, menyampaikan selama ini pihaknya telah memberikan masukan kepada Uni Eropa (UE) bahwa kelapa sawit Indonesia sudah sesuai dengan kaidah keberlanjutan atau penerapan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Dengan kaidah ISPO maka dapat meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar Indonesia.
Tidak hanya berbalut sertifikat ISPO, mayoritas produk kelapa sawit Indonesia sudah memiliki sertifikat lain yang lebih sahih yaitu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikasi dengan maksud memverifikasi pelaksanaan kebun sawit berkelanjutan ternyata tak membuat Uni Eropa luluh.
Ilustrasi Kelapa Sawit Foto: Pixabay
Dia pun menilai harusnya Uni Eropa tidak memaksakan untuk memutuskan menghentikan konsumsi kelapa sawit Indonesia.
"Rencananya pemerintah untuk mengangkat isu ini ke WTO (World Trade Organization) perlu kita dukung, agar tidak ada diskriminasi terhadap komoditi sawit," ungkap dia kepada kumparan, Jumat (15/3).
ADVERTISEMENT
Data GAPKI menyebut sepanjang tahun 2018 ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Uni Eropa mencapai 32,2 juta ton. Sementara itu India menjadi salah satu negara non-Eu yang turut mengimpor CPO cukup besar sekitar 7 juta ton.
"Kita sudah memberikan masukan kepada Uni Eropa bahwa pengembangan sawit telah mengikuti kaidah-kaidah pembangungan berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundangan di Indonesia melalui penerapan wajib ISPO," tuturnya.
Selain itu ia menilai putusan Komisi Eropa dibuat tanpa memperhatikan kepentingan Indonesia. Padahal, menurutnya kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
"Tentunya UE mestinya tidak memaksakan karena Indonesia adalah negara berdaulat dengan peraturan perundangannya," tegasnya.
Komisi Uni Eropa berkesimpulan bahwa 45 persen dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah atau lahan gambut, dan pelepasan gas rumah kaca yang dihasilkan. Itu dibandingkan dengan delapan persen untuk kedelai dan satu persen untuk bunga matahari dan rapeseed.
ADVERTISEMENT
Pihaknya menetapkan 10 persen sebagai batas minimal bahan baku yang lebih sedikit dan lebih berbahaya. Saat ini Pemerintah UE dan Parlemen Eropa memiliki waktu dua bulan untuk memutuskan apakah akan menerima atau akan memveto keputusan tersebut.