OJK: Kerugian Akibat Investasi dan Fintech Bodong Capai Rp 8.160 T per Tahun

17 November 2020 18:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
ADVERTISEMENT
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan investasi bodong dan financial technology (fintech) ilegal beroperasi masih terus terjadi. Kerugiannya pun mencapai Rp 8.160 triliun per tahun yang berasal dari ribuan akun palsu.
ADVERTISEMENT
Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi Tirta Segara mengatakan banyaknya orang yang tertipu pada investasi bodong dan fintech karena kurangnya literasi keuangan. Digitalisasi di sektor keuangan, transportasi, perbelanjaan, hingga traveling bisa menjadi jalan untuk mengedukasi literasi keuangan masyarakat.
"Dari sisi nilai, kerugian akibat kejahatan siber mencapai Rp 8.160 triliun per tahun, sehingga diperlukan sinergi yang baik dari berbagai lembaga terkait untuk menghadapi tantangan ini secara bersama-sama," kata dia dalam acara Webinar Indonesia Marketing Association (IMA), Selasa (17/11).
Tirta mengatakan, edukasi literasi keuangan ke masyarakat tidak bisa dilakukan sendiri oleh OJK. Katanya, semua pihak terkait di bidang ini harus melindungi kedua sisi, yaitu konsumen serta lembaganya agar diperoleh peningkatan tingkat kepercayaan bagi semua stakeholders jasa keuangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, setiap jasa keuangan harus diawasi dengan dua fokus, yaitu pertama prudential, yang mencakup seperti kesehatan individu Lembaga Jasa Keuangan (LJK), profil risiko, rasio keuangan dan manajemen atau operasional dan yang kedua fokus market conduct, yaitu mengawasi perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dalam berhubungan dengan konsumen.
"OJK tidak bisa melakukan sendiri tanpa kolaborasi dan sinergi dengan lembaga-lembaga lainnya," ujarnya.
Anggota DK OJK Tirta Segara Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh OJK di 2013, tingkat literasi keuangan Indonesia masih berada di angka 21,8 persen dan hasil indeks inklusi keuangan mencapai 59,7 persen. Angka ini meningkat di 2019 dengan tingkat indeks literasi keuangan Indonesia mencapai 38 persen dan indeks inklusi keuangan berada di angka 76,2 persen.
Sayangnya, jika dibandingkan dengan ASEAN, angka indeks inklusi Indonesia masih berada di bawah negara-negara tersebut. Misalnya Singapura 98 persen, Malaysia 85 persen, dan Thailand 82 persen.
ADVERTISEMENT
Adapun tingkat indeks literasi keuangan tercatat baru 38 persen, menurut Tirta, menunjukkan banyak masyarakat Indonesia ikut ke dalam sistem keuangan, tapi belum paham tentang transaksi dan masalah keuangan tersebut. Oleh sebab itu, meskipun angka indeks literasi tersebut mengalami kenaikan, banyak sekali kejadian-kejadian yang diperkirakan disebabkan oleh kurangnya literasi dari segi keuangan. Inilah yang dimaksud dengan tantangan bersama.
Sekretaris Himpunan Bank-bank Negara (Himbara) yang juga Direktur Jaringan dan Layanan BRI, Achmad Solichin Lutfiyanto, mendukung OJK untuk mengoptimalkan literasi keuangan dan perlindungan konsumen. Katanya, Himbara juga mendorong Laku Pandai dan mendukung Perlindungan Nasabah untuk keberlanjutan Financial Inclusion.
"Agen Laku Pandai menjadi garda terdepan Himbara mendorong inklusi dan literasi keuangan di masyarakat. Selain itu Himbara juga berperan dalam meningkatkan akses terhadap layanan keuangan secara terpadu dan berkomitmen untuk meningkatkan perlindungan konsumen melalui akselerasi inklusi dan literasi keuangan," ujar dia.
Webinar IMA. Foto: Dok. IMA
Pada kesempatan yang sama, Honorary Founding Chairman IMA, Hermawan Kartajaya, mengatakan perlindungan konsumen dan literasi merupakan suatu peluang bisnis. Dia berpandangan, manusia tidak dapat didigitalisasi atau tidak akan bisa digantikan oleh mesin, tapi fungsi-fungsi tertentu bisa digantikan.
ADVERTISEMENT
"Manusia harus naik lagi fungsinya ketika fungsi yang lama diganti dengan fungsi yang baru. Oleh karena itu, untuk mencapai titik harmoni, diperlukan keseimbangan digital antara manusia dan teknologi," ujarnya.