OJK: Leasing Bisa Tarik Kendaraan dari Debitur Nakal sebagai Opsi Terakhir

6 Oktober 2021 15:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan perusahaan pembiayaan atau leasing bisa menarik barang jaminan dari debitur wanprestasi dan tak koperatif, meski tanpa proses pengadilan. Namun, OJK menegaskan hal ini merupakan opsi terakhir sebagai mitigasi risiko.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan Nomor: 02/PUU-XIX/2021 tentang pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Putusan ini secara langsung menggantikan putusan Nomor: 18/PUU-XVII/2019, yang menyatakan bahwa setiap penyitaan barang agunan atau kendaraan mesti melalui pengadilan.
Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan 1 OJK Indra mengatakan, jika debitur mengalami kesulitan membayar angsuran pada perusahaan pembiayaan, ada sejumlah cara utama yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah restrukturisasi kredit.
"Restrukturisasi kredit ini sebetulnya juga sudah berlaku sebelum COVID-19, dia bisa ajukan relaksasi, apakah itu angsurannya dikurangi, tenor ditambah. Tapi ini dalam artian debitur harus kooperatif," ujar Indra dalam Youtube Infobank membahas Polemik Eksekusi Jaminan Fidusia, Rabu (6/10).
Opsi selanjutnya adalah penyerahan barang yang dijadikan agunan, selanjutnya bisa dilakukan penjualan sendiri oleh debitur maupun diserahkan ke perusahaan pembiayaan untuk dilakukan lelang. Hasil penjualan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kewajiban debitur ke perusahaan.
ADVERTISEMENT
"Nah opsi terakhir kalau debitur enggak kooperatif, perusahaan perlu melakukan mitigasi risiko. Tapi tidak langsung menarik barang dari debitur, dilakukan peringatan dulu," jelasnya.
Ilustrasi pembelian mobil baru. Foto: dok. Auto
"Kalau sudah diingatkan tak ada itikad baik, boleh gunakan source dari internal atau eksternal untuk eksekusi jaminan fidusia, tapi ada aturannya juga, harus yang ada sertifikatnya," tambahnya.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno mengungkapkan, perusahaan pembiayaan sebenarnya tidak ingin eksekusi jaminan fidusia dilakukan. Menurutnya, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghindari eksekusi jika debitur menunjukkan itikad baik untuk berdiskusi.
Salah satunya adalah dengan cara restrukturisasi kredit dan diskusi antar debitur kreditur. Sehingga, tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.
"Jika debitur dan unitnya ada, lebih kepada bagaimana kita melakukan restru dan diskusi. Intinya perusahaan pembiayaan tidak ingin kendaraan dieksekusi. Kita kasih uang inginnya kembali uang. Kita ingin ada kesepakatan, ayo kalo susah kita bantu," kata Suwandi.
ADVERTISEMENT
Dia mengakui, banyak debitur yang terdampak oleh pandemi COVID-19 dan kesulitan membayar cicilan kendaraan. Meski demikian, restrukturisasi kredit bisa membantu debitur untuk pulih, sehingga bisa kembali membayar dengan lancar.
"Selama pandemi, 5,2 juta debitur sudah kami bantu dengan nilai Rp 200 triliun. Jumlah ini tidak kecil, mencapai 50 persen dari outstanding kami, tetapi tetap dibantu dan benar, 70 persennya sudah kembali membayar normal," paparnya.
Namun pada kenyataannya, tidak sedikit juga debitur nakal yang membuat unit berpindah tangan. Kejadian ini juga kerap ditemui saat akan eksekusi kendaraan.
Bahkan ada juga yang debiturnya tidak ada atau menghilang, unitnya pun menghilang. Hal ini sudah menyalahi aturan.
“Tapi kebanyakan ini debitur ada, unit enggak ada, atau unit ada tapi sudah bukan kekuasaan dia. Ini semua sudah melanggar Pasal 35 dan 36 jaminan fidusia. Kalau debitur ada, barang ada, bagaimana kita restrukturisasi, kita diskusi. Intinya perusahaan tidak ingin sebenarnya kendaraan dieksekusi, kita ingin pinjam uang ya bayar uang," kata dia.
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum, Frans Hendra Winarta, mengatakan bahwa sertifikat jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
"Sertifikat jaminan fidusia punya kekuatan eksekutorial. Eksekusi jaminan melalui putusan pengadilan bukan suatu yang mutlak, diharuskan gitu. Dalam ketentuan ini, kekuatan eksekutorial adalah dapat dilakukan langsung tanpa proses ke pengadilan. Jadi debitur balelo itu tidak boleh sebetulnya," jelasnya.
Di sisi lain, Finance Director sekaligus Corporate Secretary BFI Finance, Sudjono, menambahkan bahwa pihaknya selalu melakukan literasi ke masyarakat, termasuk ke konsumennya. Menurutnya, ada proses sesuai ketentuan mulai dari memberikan pesan dan pengingat ke konsumen, baik secara lisan maupun tertulis.
ADVERTISEMENT
"Jika sesudah peringatan pertama hingga ketiga juga masih lalai. Kita akan meminta secata tertulis untuk diserahkan unit, untuk kita bantu jual, uangnya sebagian kita kembalikan ke konsumen dan dilakukan secara jelas," terangnya.