Pajak Dinaikkan, Pertumbuhan Ekonomi Jepang di Kuartal IV Minus 6,3 Persen

18 Februari 2020 14:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in (kiri) berjabat tanagn dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe selama pertemuan di Chengdu, Sichuan, China. Foto: AFP/STR
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in (kiri) berjabat tanagn dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe selama pertemuan di Chengdu, Sichuan, China. Foto: AFP/STR
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan ekonomi Jepang mengalami koreksi tajam sepanjang kuartal IV 2019, yakni minus 6,3 persen (year on year/yoy). Angka ini lebih buruk dari prediksi para ekonom yang diperkirakan hanya minus 3,9 persen. Penurunan ini merupakan yang terendah sejak 2014. Ditulis The Wall Street Journal (WSJ), Selasa (18/2), anjloknya pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal IV dipengaruhi oleh dua hal, yakni naiknya tarif pajak konsumsi (PPn) dan efek badai Hagibis.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara ekonomi terbesar ke-3 dunia setelah Amerika dan China, belanja masyarakat dan korporasi melemah akibat kenaikan pajak dari 8 persen menjadi 10 persen mulai 1 Oktober 2019. Mengutip The Economist, Jepang juga pernah mengalami kontraksi ekonomi tinggi, yakni minus 7,4 persen pada kuartal II 2014 setelah pemerintah menaikkan pajak sejenis.
"Kenaikan pajak sejenis pada April 2014 kemudian diikuti dengan tingginya angka kontraksi pada perekonomian," tulis The Economist.
Saat pemerintah baru menaikkan pajak, Jepang pada pertengahan Oktober 2019 dihantam badai Hagibis yang memicu banjir di berbagai kota dan menewaskan hampir 100 orang. Dampak dari badai ini, belanja atau investasi perusahaan turun tajam.
Pada saat memutuskan penyesuaian pajak, Pemerintahan Shinzo Abe mengeluarkan insentif dengan menggratiskan pendidikan usia dini dan memberikan diskon untuk transaksi nontunai.
ADVERTISEMENT
"Namun kompensasi ini tidak berdampak setelah Jepang dihantam badai Hagibis," tambahnya.
Suasana di pelabuhan kota Kiho, Prefektur Mie, Jepang. Foto: AP Photo
Pada kuartal I 2020, Jepang diramal akan menghadapi resesi, yakni pertumbuhan ekonomi dua kuartal berturut-turut negatif. Kondisi itu dipengaruhi oleh dampak dari virus corona. Sektor pariwisata Jepang bakal sangat terpukul. Merujuk data 2019, 37 persen dari total belanja turis di Jepang yang senilai USD 44 miliar datang dari wisatawan asal China. International Civil Aviation Organization (ICAO) memperkirakan Jepang kehilangan pendapatan USD 1,29 miliar pada kuartal I 2020 karena anjloknya kunjungan turis asal China via angkutan udara. WSJ menyebut, manufaktur Jepang juga bakal terpukul karena pasokan suku cadang seperti otomotif harus terbatas. Bahkan Nissan Motor harus memangkas produksi kendaraan akibat terganggunya pasokan suku cadang. Akibat gangguan jaringan distribusi manufaktur itu, ekspor Jepang diprediksi akan terpukul. Akhirnya, pertumbuhan ekonomi Negeri Sakura itu diprediksi ikut terseok-seok.
ADVERTISEMENT
Agar keluar dari tekanan dan bayang-bayang resesi, Jepang disarankan untuk menaikkan belanja pemerintahnya.
"Pemerintah Jepang harus mengeluarkan kebijakan fiskal (belanja) dan harus bersiap dengan hitungan berupa menerbitkan surat utang pemerintah terbaru," ungkap Ekonom Daiwa Securities, Mari Iwashita.