Panic Buying Picu Kenaikan Harga, Masyarakat Berpenghasilan Rendah Bakal Merana

17 Maret 2020 20:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pengunjung di salah satu kios penjual masker di Pasar Pramuka. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Para pengunjung di salah satu kios penjual masker di Pasar Pramuka. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah hampir satu jam Ghani berkeliling di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Sabtu siang (14/3). Lantaran bekerja dengan mengandalkan transportasi umum, perempuan yang bekerja di bilangan Jakarta pusat itu berniat mencari masker.
ADVERTISEMENT
Ia merasa khawatir menyaksikan penyebaran virus corona yang sangat cepat. Namun, sayang Ghani terpaksa berpikir dua kali untuk membeli lantaran harga yang cukup tinggi, sehingga ia memilih untuk menanyakan satu per satu toko di pasar tersebut.
Suasana di Pasar Pramuka sangat riuh siang itu oleh orang-orang yang berburu masker. Saking ramainya, parkiran pasar ini membeludak hingga ke jalan hingga menimbulkan kemacetan. Di luar tampak orang-orang lalu lalang mengangkat dus-dus berisi masker menuju sepeda motor dan mobil.
Sejak Presiden Jokowi menyatakan 2 warga Indonesia positif terjangkit corona 2 Maret lalu, masyarakat pun seketika menjadi panic buying atau membeli barang-barang dengan jumlah berlebihan.
Pasar Pramuka menjadi salah satu tempat yang diburu warga, penyebabnya karena masker dan hand sanitizer mendadak menjadi langka di apotek dan minimarket lantaran ludes diborong.
ADVERTISEMENT
Dua pekan usai virus itu dinyatakan masuk ke Indonesia, jumlah penderita pun melambung menjadi 172 orang pada Selasa (17/3). Hal itu tentu saja bakal mendorong panic buying yang lebih masif lagi.
Berbagai kalangan termasuk pemerintah mulai gencar mengimbau agar masyarakat tidak panic buying. Kepolisian bahkan meminta pihak-pihak terkait agar bisa mengeluarkan regulasi membatasi pembelian kebutuhan pangan hingga alat kesehatan.
Direktur Riset Core Indonesia Pitter Abdullah mengatakan, jika keadaan seperti itu terus terjadi, kenaikan harga tak terhindarkan. Hal itu disebabkan karena barang-barang itu secara otomatis menjadi langka.
"Panic buying jelas merugikan karena menyebabkan tidak terdistribusinya barang dengan baik. Bisa mengakibatkan kelangkaan supply dan kenaikan harga atau inflasi," jelas Piter kepada kumparan, Selasa (17/3).
Antrean pembeli masker di JakMart Pasar Pramuka, Jakarta, Jumat (6/3). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Hal senada juga diamini Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohamad Faisal. Lebih lanjut menurutnya, bila situasi itu terjadi, yang bakal lebih merana adalah masyarakat dengan berpenghasilan rendah.
ADVERTISEMENT
"Panic buying ini kan berarti akan menyebabkan kelangkaan barang dan yang paling rentan dirugikan memang masyarakat bawah, karena mereka tidak memiliki income yang cukup untuk kemudian melakukan stocking, berbeda dengan orang yang punya uang, kan biasanya berpikirnya adalah konsumsi dari hari ke hari," jelas Faisal.
Sementara Peneliti Indef Bhima Yudhistira menilai, perilaku tersebut bakal lebih parah lagi saat pemerintah memutuskan untuk lockdown. Dampak terburuk kata Bhima, meningkatkan angka kemiskinan.
"Ketika lockdown diumumkan, masyarakat yang panik akan menyerbu pusat perbelanjaan, bukan hanya makanan minuman tapi juga obat-obatan bisa ludes. Kemarin waktu panic buying di beberapa daerah, pemerintah tidak punya pencegahan apa pun. Yang saya khawatirkan masyarakat menengah bawah, kemampuan untuk menimbun bahan pangan tidak sekuat kelas atas, angka kemiskinan bisa naik," pungkas Bhima.
ADVERTISEMENT