Pemerintah Diminta Adil Terapkan Simplifikasi Tarif untuk Industri Rokok

4 Februari 2022 15:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buruh linting rokok beraktivitas di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). Foto: Irfan Anshori/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Buruh linting rokok beraktivitas di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). Foto: Irfan Anshori/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Pemerintah sejak awal tahun ini telah menetapkan tarif cukai rokok menjadi rata-rata 12 persen. Tak hanya itu, penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai rokok juga dilakukan sejak 1 Januari 2022, dari sebelumnya 10 layer menjadi 8 layer.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar Misbakhun, meminta pemerintah adil dalam menerapkan kebijakan cukai hasil tembakau untuk industri rokok. Jangan sampai, kebijakan itu justru menekan industri rokok kecil dan rumahan. Ia pun menilai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 restriktif dan diskriminatif terhadap sektor tembakau.
“Di RPJMN ini, saya tidak menemukan sama sekali bahwa penerimaan cukai adalah salah satu tulang punggung penerimaan negara,” kata Misbakhun saat rapat kerja pemerintah, Kamis (3/2).
Ia menilai, dalam RPJMN 2020-2024 terdapat beberapa kebijakan yang restriktif terhadap kelangsungan industri hasil tembakau (IHT). Antara lain, penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau, peningkatan tarif cukai hasil tembakau, pelarangan total iklan dan promosi rokok, memperbesar pencantuman peringatan bergambar bahaya merokok, dan revisi PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Menurut Misbakhun, simplifikasi tarif cukai hanya untuk kepentingan industri besar. Padahal, banyak industri rumahan yang juga turut menyumbang penerimaan cukai hasil tembakau.
“Simplifikasi hanya menguntungkan kelompok industri besar. Bagaimana kemudian kita tidak pernah punya roadmap industri-industri rumahan yang menghasilkan dampak ekonomi, kalau kita membicarakan gini rasio dan sebagainya,” katanya.
Buruh linting rokok menempel pita cukai di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). Foto: Irfan Anshori/Antara Foto
Dia menambahkan, industri tembakau memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Tidak hanya menimbulkan dampak pada penerimaan negara, tapi juga menghidupkan perekonomian di tingkat petani maupun industri-industri kecil pertembakauan yang dikelola oleh masyarakat.
“Seharusnya RPJMN membicarakan bagaimana tembakau itu menjadi produk pertanian strategis, membicarakan bagaimana penerimaan cukai itu menopang sekitar Rp 200 triliun, dan memberikan dukungan yang sangat kuat terhadap penerimaan negara kita. Di saat kita mengalami kontraksi, pertumbuhan penerimaan cukai bisa mencapai 100 persen, hanya di sektor penerimaan cukai tembakau,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menjelaskan, penyederhanaan struktur tarif cukai, baik dengan menggabungkan golongan pabrik maupun jenis produk, akan memberikan dampak bagi kelangsungan pabrik rokok kecil dan menengah dalam jangka pendek, dan juga pabrik besar dalam jangka panjang.
"Penggabungan dapat berdampak akan gulung tikar pabrikan kelas kecil dan menengah, karena harga produk tidak terjangkau oleh segmen pasarnya dan konsumennya akan pindah ke rokok illegal yang lebih murah," kata Henry.
Dia juga menegaskan, banyak pabrik kecil akan dikorbankan, sementara pabrik besar tertentu yang mengusulkan akan diuntungkan dengan adanya simplifikasi struktur tarif cukai. Kebijakan ini dinilai akan menciptakan persaingan usaha tidak sehat di industri rokok.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, simplifikasi dilakukan dengan menggabungkan golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) IIA dan SKM IIB, serta Sigaret Putih Mesin (SPM) IIA dan SPM IIB. Gap harga antar golongan rokok itu hanya berbeda Rp 10 per batang.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, kebijakan tersebut untuk mengindari terjadinya down trading yakni konsumen beralih ke rokok yang lebih murah. Hal ini sejalan dengan target pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok anak.
"Tarif cukainya dekat, selisih Rp 10 per batang, maka menjadi satu tarif rokok," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Senin (13/12/2021).