Pemerintah Diminta Objektif Buat Kebijakan Pertembakauan

2 Agustus 2022 16:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja perempuan membuat rokok di industri rokok rumahan di Desa Plandi, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (8/1). Foto: ANTARA FOTO/Syaiful Arif
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja perempuan membuat rokok di industri rokok rumahan di Desa Plandi, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (8/1). Foto: ANTARA FOTO/Syaiful Arif
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun mengatakan, pemerintah semestinya bisa menempatkan industri hasil tembakau dengan fokus yang lebih luas dan objektif. Menurutnya, RPJMN 2020-2024 masih bersifat asimetris dan kurang membicarakan hal-hal yang strategis.
ADVERTISEMENT
”Seharusnya RPJMN membicarakan bagaimana tembakau itu menjadi produk pertanian strategis, membicarakan bagaimana penerimaan cukai itu menopang sekitar Rp 200 triliun, dan memberikan dukungan yang sangat kuat terhadap penerimaan negara. Ingat, disaat kita mengalami kontraksi, pertumbuhan penerimaan cukai yang bisa mencapai 100 persen itu hanya di sektor penerimaan cukai tembakau,” ujar Misbakhun dalam keterangannya, Selasa (2/8).
Adapun pemerintah memastikan akan tetap menjalankan simplifikasi golongan tarif rokok, kenaikan harga jual eceran (HJE), hingga kenaikan cukai rokok.
Pemerintah memiliki harapan bahwa berbagai kebijakan yang diterapkan tersebut dapat mendukung tujuan pemerintah dalam menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3 – 32,4 persen dan prevalensi perokok anak-anak dan remaja turun menjadi 8,8 – 8,9 persen pada 2021.
ADVERTISEMENT
Selain itu dalam RPJMN 2020-2024, pemerintah berkomitmen untuk mengendalikan konsumsi tembakau bagi perokok anak usia sekolah dan remaja sebesar 8,7 persen pada lima tahun mendatang. ”RPJMN semestinya mengulas rencana strategis pembangunan nasional secara luas, bukan malah menempatkan industri tembakau pada fokus yang sempit,” jelasnya.
Anggota DPR RI Misbakhun Foto: Amanaturrosyidah/kumparan
Misbakhun melanjutkan, pihaknya ingin RPJMN lebih objektif. Terkait masalah kesehatan, misalnya, RPJMN semestinya tidak hanya sangat serius ketika membicarakan rokok sebagai penyebab sejumlah penyakit tidak menular. ”Seakan-akan rokok ini satu-satunya penyebab masalah kesehatan di Indonesia,” tulisnya.
Dia menuturkan, target untuk menurunkan prevalensi perokok yang tertuang dalam RPJMN ini seringkali dianggap tidak proporsional dan objektif. Sebagai contoh, mengacu pada RPJMN, terdapat dorongan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Rancangan perubahan atas PP 109/2012 itu oleh sebagian pihak dinilai sangat diperlukan, karena saat ini angka perokok anak dianggap masih tinggi. Untuk itu, dibutuhkan aturan-aturan yang lebih ketat praktik kepada industri tembakau.
Sementara itu, Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB UB) Imanina Eka Dalilah berpendapat, argumentasi menurunkan prevalensi jumlah perokok pemula tidak memiliki dasar yang valid, karena tanpa adanya revisi PP 109/2012, prevalensi perokok anak telah mengalami penurunan dari 9,1 persen di tahun 2018 menjadi 3,81 persen di tahun 2020, dan pada tahun 2021 bahkan turun lagi menjadi 3,69 persen.
”Pengendalian telah berjalan dengan baik sehingga belum diperlukan revisi PP 109/2012,” kata Imanina.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut sejalan dengan data resmi pemerintah yang tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2023 bahwa capaian indikator kesehatan terkait persentase merokok penduduk usia 10-18 tahun mengalami kondisi membaik, dari 7,2 persen pada tahun 2013, turun menjadi 3,8 persen pada tahun 2020.
Atas dasar itu, kata Misbakhun, dorongan sejumlah pihak merevisi PP 109/2012 yang merupakan salah satu turunan dari RPJMN menjadi patut dipertanyakan.
Berkaitan dengan kondisi yang ada, Misbakhun berharap Menteri Bappenas bisa kembali merevisi RPJMN. Pasalnya, menurut dia, selama ini yang dijadikan sebagai titik tumpu Menteri Keuangan setiap diskusi dengan Komisi XI ataupun dengan Badan Anggaran DPR soal kenaikan tarif cukai ini adalah hasil RPJMN tersebut.
ADVERTISEMENT
”Saya mengharapkan ada upaya-upaya yang lebih objektif dan komprehensif melihat situasi pertembakauan kita. Karena Menteri Keuangan selalu berbicara berdasarkan RPJMN yang disusun ini,” jelasnya.
Seorang petani memeriksa daun tembakau di perkebunan tembakau di Kuta Cot Glie, provinsi Aceh, Indonesia pada 6 Januari 2022. Foto: CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP
Petani hingga Industri Tembakau Tolak Revisi PP 109/2012
Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji mengatakan, pihaknya menolak rencana revisi PP 109/2012 yang seakan dipaksakan untuk disahkan. Ia pun mengirimkan surat untuk Presiden Jokowi agar tak merevisi beleid tersebut.
"Kami pengurus DPN APTI berkirim surat resmi kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan revisi PP 109/2012. Semoga bapak Presiden mengabulkan permohonan kami," kata Agus.
Penolakan perubahan PP 109/2012 juga dari kalangan pekerja pabrik rokok. Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) Sudarto menilai, PP 109/2012 yang berlaku saat ini sejatinya telah memberatkan bagi industri sehingga para pekerja juga ikut terimbas. Pasalnya, ketentuan-ketentuan yang ada telah melampaui kerangka pengendalian tembakau global atau Framework Convention of Tobacco Control (FCTC).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, dengan sifat yang eksesif dan menjadi payung terhadap pengendalian tembakau, PP 109/2012 berpotensi memicu sejumlah regulasi di tingkat daerah yang makin eksesif lagi, sehingga mengancam eksistensi IHT.
“FSP-RTMM ini bukan hanya melindungi para pekerja, melainkan dari aspek hubungan industrial mendorong keberlangsungan industri karena ini akan sangat terkait penyediaan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan kesejahteraan pekerjanya,” tegasnya.
Selain itu, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi berpandangan upaya untuk merevisi PP 109/2012 bukanlah sesuatu yang genting, mengingat selama ini IHT telah patuh dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang termaktub dalam PP 109/2012.
"Jelas sudah ada bias terhadap ekosistem pertembakauan dan sangat memberatkan. Ini yang sedang kami perjuangkan,” terang Benny.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menolak perubahan PP 109/2012 yang saat ini sedang digulirkan oleh Kementerian tertentu.
“GAPPRI dengan tegas menolak perubahan PP 109/2012. Pasalnya, kami melihat PP 109/2012 yang ada saat ini masih relevan untuk diterapkan,” tegas Henry.