Pemerintah Diminta Perhatikan Nasib Pekerja Sebelum Naikkan Cukai Rokok di 2022

15 September 2021 14:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buruh linting rokok beraktivitas di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). Foto: Irfan Anshori/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Buruh linting rokok beraktivitas di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). Foto: Irfan Anshori/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Pemerintah memastikan tarif cukai hasil tembakau akan diumumkan pada bulan depan. Kenaikan cukai rokok ini dilakukan demi mendongkrak penerimaan negara dari sisi cukai di tahun depan yang naik 11,9 persen dari tahun ini.
ADVERTISEMENT
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea Cukai Kemenkeu Syarif Hidayat mengatakan, saat ini pemerintah masih terus membahas RAPBN 2022. Setelah itu, barulah dibahas tarif cukai rokok.
“Masih terus dibahas untuk cukai rokok, (diumumkan) sekitar Oktober,” ujar Syarif kepada kumparan, Rabu (15/9).
Secara terpisah, Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menuturkan, pemerintah harus memperhatikan sisi pekerja di industri hasil tembakau (IHT). Sebab menurutnya, jika hal itu tak dilakukan akan berpengaruh ke ekonomi nasional.
“Peran IHT dalam perekonomian nasional sangat penting sekali. Kontribusinya terhadap APBN juga sangat besar 7-8 persen itu dari cukai rokok. Makanya kalau kita bicara tentang tulang punggung penerimaan negara, IHT harus dimasukkan dalam konsep wawasan ketahanan ekonomi nasional, kedaulatan, dan kemandirian kita sebagai bangsa,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Hananto Wibisono, Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), menyampaikan bahwa bukan hanya indikator kesehatan dan penerimaan negara yang perlu diperhatikan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok. Selain itu, ada juga indikator tenaga kerja dan petani tembakau.
“Indikator kesehatan terkait prevalensi anak misalnya, menurut data BPS tahun 2020, faktanya sudah menurun dari 2018 sebesar 9,65 persen menjadi 3,81 persen. Untuk prevalensi perokok secara keseluruhan/dewasa sebesar 29,3 persen turun menjadi 28,8 persen,” jelas dia.
Petani merajang tembakau sebelum dijemur dan disetorkan ke pabrik rokok di Seren, Rembang, Jawa Tengah, Kamis (17/9/2020). Foto: Ari Bowo Sucipto/Antara Foto
Hananto menyebutkan, ketika pemerintah bilang memperhatikan indikator keberlangsungan tenaga kerja dan nasib petani, justru jumlah produksi rokok 346 miliar batang pada 2013 turun menjadi 322 miliar batang pada 2020.
“Kalau 1 batang sama dengan 1 gram, berarti ada 24 ribu ton yang tidak terserap, artinya ada lebih dari 24 ribu hektar lahan tembakau yang tidak terserap pula. Ada ribuan tenaga kerja yang tidak menentu nasibnya,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Kepala Dinas Perindustriagn dan Perdagangan Jawa Timur dalam webinar LPEP FEB Universitas Airlangga Drajat Irawan mengatakan, kenaikan tarif cukai berpotensi menyebabkan terjadinya pengurangan tenaga kerja dan serapan tembakau. Provinsi Jawa Timur, yang merupakan sentra penghasil tembakau terbesar di Indonesia, bahkan mencatat telah terjadi pengurangan 5.000 pekerja pabrik rokok sejak tahun lalu. Padahal lebih dari 50 persen pekerja industri hasil tembakau ada di Jawa Timur.
“Dari data yang ada, IHT di Jawa Timur, khususnya untuk skala kecil dari tahun ke tahun memang terjadi penurunan apalagi saat pandemi. Sehingga muncul pengangguran dan turunnya kesejahteraan petani tembakau, karena mereka ini memasok tembakau untuk pabrik kecil,” ujar Drajat.
Ia menambahkan, saat ini setidaknya ada 90 ribu lebih pekerja tembakau di Jawa Timur. Kontribusi Jawa Timur terhadap penerimaan negara via CHT juga merupakan yang terbesar.
ADVERTISEMENT
Tahun lalu, Jawa Timur menyumbang Rp 101,9 triliun cukai, atau setara 59,38 persen total penerimaan cukai nasional. Hal ini menjadikan Jawa Timur sebagai provinsi yang paling rentan terhadap dampak ekonomi bila IHT terganggu. Banyak warganya yang menggantungkan hidupnya saat ini sebagai petani tembakau maupun pekerja di sektor industri.
Hal senada juga disampaikan anggota DPRD Provinsi Jawa Timur Ubaidillah Umar Sholeh. Ia mengatakan bahwa kenaikan tarif CHT hanya akan merugikan petani tembakau, khususnya yang berada di Jatim.
Pengamat ekonomi Muhammad Hasan Hidayat mengatakan, rencana kenaikan cukai rokok 2022 akan menjadi kekhawatiran dan tekanan bagi petani tembakau.
“Betapa tertekannya petani tembakau. untuk ini harus diajak meninjau langsung bagaimana kondisi petani. Langkah yang harus dilakukan harus ada win-win solution dengan cara menggandeng pihak industri, petani, dan masyarakat,” katanya.
ADVERTISEMENT
Ketua Senat Mahasiswa UIN Jakarta Muhammad Sahrul mengatakan, nasib buruh industri hasil tembakau harus diperhatikan dalam kebijakan cukai. Dia menuntut keadilan terhadap para petani dan buruh rokok yang padat karya terkait kesejahteraannya.
“Ketika cukai rokok dinaikkan dan berdampak pada buruh IHT,maka kesejahteraan kelompok ini tidak terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan, apa yang menjadi tujuan pemerintah dalam menerapkan kebijakan, secara jelas mengesampingkan masyarakat,” katanya.
Dia juga menjelaskan, unsur kesejahteraan masyarakat ini seharusnya menjadi bagian evaluasi dan pertimbangan pemerintah dalam menentukan kebijakan cukai.
Berbagai pihak perwakilan buruh rokok telah menyuarakan penolakan kenaikan cukai hasil tembakau, karena khawatir hal ini akan makin menyengsarakan kehidupan pekerja.
"Suara hati ribuan anggota kami di Jawa Barat adalah agar tarif cukai hasil tembakau tidak naik 2022," ujar Ateng Ruchiat Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, kenaikan tarif CHT memberikan ancaman PHK bagi buruh pabrikan rokok terutama bagi pekerja linting, yang mengalami pengurangan jam kerja.
"Jangan sampai lapangan kerja hilang akibat kenaikan tarif cukai. Apalagi zaman sedang sulit akibat pandemi," tambahnya.