Pemerintah Disebut Kecanduan Naikkan Tarif Cukai Rokok

21 September 2022 17:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi Media Pakta Konsumen soal Pertembakauan di BalakEnam Dapoer Rakjat, Rabu (21/9/2022). Foto: Narda Margaretha Sinambela/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi Media Pakta Konsumen soal Pertembakauan di BalakEnam Dapoer Rakjat, Rabu (21/9/2022). Foto: Narda Margaretha Sinambela/kumparan
ADVERTISEMENT
Pakta Konsumen menilai selama ini pemerintah menganggap perokok dan konsumen produk tembakau hanya dijadikan objek dalam implementasi regulasi pertembakauan, khususnya penentuan kebijakan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT).
ADVERTISEMENT
Ketua Bidang Advokasi dan Pendidikan Konsumen Pakta Konsumen, Ary Fatanen, mengungkapkan ada 69,1 juta perokok dan konsumen produk tembakau yang belum mendapatkan hak partisipatif dan advokasinya. Padahal, konsumen tembakau sekaligus juga wajib pajak memiliki hak berkontribusi terhadap cukai rokok.
"Perokok dan konsumen produk tembakau belum dipandang sebagai subjek oleh pemerintah, hanya sekadar objek. Konsumen adalah wajib pajak yang punya hak partisipatif dan advokasi konsumen yang berkontribusi terhadap cukai rokok tidak diakomodir," ujar Ary dalam diskusi Pakta Konsumen soal Pertembakauan di BalakEnam Dapoer Rakjat, Rabu (21/9).
Melihat realita saat ini, ia menyebut sebetulnya pemerintah yang memiliki kecanduan pada rokok. Pasalnya, pemerintah secara terus menerus menaikkan cukai rokok.
"Pemerintah candu atas cukai rokok yang terus dinaikkan sebagai salah satu instrumen penerimaan negara," kata dia.
ADVERTISEMENT

Tarif Cukai Rokok Naik

Pemerintah resmi menaikkan CHT sebesar 12 persen pada 2022. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi instrumen pengendalian konsumsi tembakau.
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Ary menyayangkan sikap yang diambil pemerintah. Ia menilai, pemerintah seharusnya bisa memaksimalkan peran litigasi dan non litigasinya dalam melindungi dan mengakomodir hak-hak perokok dan konsumen produk tembakau.
Ia menginginkan, konsumen tembakau sebagai wajib pajak yang juga ikut berkontribusi terhadap penerimaan negara mendapatkan kenyamanan hingga tidak diperlakukan diskriminatif. Namun, itu semua seolah hanya menjadi angan-angan belaka.
Perokok dan konsumen produk tembakau belum dipandang sebagai warga negara seutuhnya oleh pemerintah. Hal ini tidak terlepas karena hak-hak partisipatif dan advokasinya belum diakomodir secara maksimal.
"Perokok dan konsumen produk tembakau sering distigma sebagai beban negara atau warga negara kelas dua," ungkap Ary.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Pakta Konsumen sebagai lembaga swadaya berupaya mengadvokasi para perokok dan konsumen di ekosistem pertembakauan untuk berperan aktif menyuarakan hak-hak mereka. Adapun mereka sebagai wajib pajak yang telah taat membayarkan cukai seringkali ditemukan menerima ketidakadilan dari implementasi regulasi melalui Perda Kawasan Tanpa Rokok, rencana kenaikan harga rokok seiring dengan rencana kenaikan cukai rokok 2023 hingga dorongan Revisi PP 109/2012.
Selain itu, ia menambahkan ada sekitar 300 regulasi pertembakauan yang bersifat eksesif dan seluruhnya sangat jauh dari pelibatan atau partisipasi konsumen. Poin-poin aturan dalam kebijakan maupun regulasi yang ada, sangat ketat, melarang hingga bersifat menekan para perokok dan konsumen produk olahan tembakau.
"Konsumen di ekosistem pertembakauan ini ibarat fenomena gunung es. Mereka sudah tertekan sekian lama, berupaya terus bersuara tapi belum diakomodir," papar Ary.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Staf Bidang Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN RI), Lily menuturkan negara berkewajiban mengakomodir hak konsumen termasuk hak untuk didengar pendapatnya. Hal ini merupakan hak dasar dan vital sesuai dengan amanat Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
BPKN RI merekomendasikan agar pemerintah melibatkan aspirasi konsumen. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus bijak dan berimbang dalam mendengarkan aspirasi konsumen karena akan berdampak pada banyak sektor.
"Namun, baru kali ini kami mengetahui bahwa konsumen ekosistem pertembakauan cukup besar dan kompleks," sebut Lily.
Pengamat Hukum Universitas Trisakti Ali Rido mengutarakan regulasi eksesif yang berkaitan dengan ekosistem pertembakauan terjadi karena tidak sedikit peraturan maupun kebijakan yang dalam proses pembuatannya multitafsir dan tidak bersifat situasional. Minimnya pemenuhan hak partisipatif konsumen dalam regulasi pertembakauan juga tidak terlepas dari aspek nir-legalitas peraturan yang ada.
ADVERTISEMENT
"Sebagai contoh, PP 109/2012 adalah regulasi yang sangat eksesif bagi konsumen karena ada simplifikasi dari peraturan di atasnya yakni Undang-Undang Kesehatan yang sebenarnya memberi ruang pengaturan yang lebih luas dalam ekosistem pertembakauan sehingga akhirnya nir-legalitas," tutur Ali.
Menurut Ali, regulasi terkait ekosistem pertembakauan belum seluruhnya berimbang memenuhi unsur legalitas dan legitimasi. Hal ini tidak terlepas juga dari rendahnya derajat partisipasi konsumen dalam pembentukan regulasi.
Demi memberikan jalan keluar terbaik terhadap urgensi partisipasi konsumen, sambung dia, pemerintah harus melaksanakan amanat konstitusi dan perundang-undangan. "Dengarkan, libatkan dan akomodir suara konsumen dalam proses pembentukan hingga implementasi regulasi," tandasnya.