Pemerintah Matangkan Rencana Pajak Karbon, Jadi Sumber Baru Biayai Pembangunan

11 Juni 2021 12:28 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Emisi Karbon Perkotaan Foto: Aly Song
zoom-in-whitePerbesar
Emisi Karbon Perkotaan Foto: Aly Song
ADVERTISEMENT
Pemerintah terus mematangkan rencana penetapan tarif atas emisi karbon (carbon pricing). Salah satunya dengan rencana pengenaan pajak karbon.
ADVERTISEMENT
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan carbon pricing menjadi salah satu instrumen untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca, terutama di bidang energi. Menurut dia, masa pemulihan ekonomi setelah pandemi COVID-19 dapat menjadi momentum memulai kebijakan yang lebih ramah lingkungan.
"Dalam kondisi pemulihan ekonomi ini, pemerintah terus mempertimbangkan dan mengevaluasi penerapan carbon pricing," katanya dalam sebuah webinar Perubahan Iklim yang diselenggarakan Universitas Indonesia, Jumat (11/6).
Isu keberlanjutan dan ketahanan fiskal saat ini juga menjadi perhatian negara-negara di dunia, di tengah kondisi pemulihan ekonomi global. Negara-negara semakin menekankan pentingnya upaya pembatasan gas rumah kaca yang dapat meningkatkan suhu bumi.
Menurut Febrio, carbon pricing bisa menjadi alternatif untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Selain itu, carbon pricing juga bisa menjadi sumber pembiayaan baru untuk pembangunan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
"Penerapan (carbon pricing) ini akan menjadi salah satu peluang dalam mendorong kita menurunkan emisi gas rumah kaca dan menjadi sumber baru bagi pembiayaan pembangunan berkelanjutan," jelasnya.
Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN 2022, disebutkan pajak karbon sebagai salah satu instrumen carbon pricing berbasis nonpasar. Pemerintah juga telah merancang dua alternatif dalam skema pengenaan pajak karbon.
Pertama, mengenakan pajak emisi karbon melalui instrumen yang sudah ada seperti cukai, pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kedua, mengenakan pajak karbon melalui instrumen baru.
Jika pengenaan pajak karbon dilakukan melalui instrumen baru, kebijakan tersebut harus didukung melalui Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Ilustrasi membayar pajak dengan layanan DJP online. Foto: Shutter Stock
Adapun dalam draf RUU KUP yang diterima kumparan, disebutkan bahwa subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
ADVERTISEMENT
Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
“Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah Rp 75 ribu per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara,” tulis Pasal 44G ayat 5 draf RUU KUP.
Pajak karbon terutang pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, atau saat lain.
Ketentuan mengenai penetapan tarif pajak karbon, perubahan tarif pajak karbon, dan/atau penambahan pajak objek pajak yang dikenai pajak karbon selain sebagaimana dimaksud akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.