Pemerintah Revisi Batas Garis Kemiskinan, Metode Bank Dunia Cuma Jadi Acuan
11 Juni 2025 15:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Pemerintah tengah mengkaji ulang cara mengukur kemiskinan di Indonesia. Aturan baru yang menjadi dasar metode penghitungan itu ditargetkan selesai paling lambat pada akhir tahun 2025.
ADVERTISEMENT
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory, mengatakan kajian ini saat ini sedang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dengan koordinasi bersama Kementerian PPN/Bappenas dan konsultasi dengan DEN. Meski berlangsung bersamaan dengan perubahan besar yang dilakukan Bank Dunia, Arief menegaskan, Indonesia tidak serta-merta mengikuti metodologi Bank Dunia.
“Iya sedang proses. Sekarang dalam proses kajian dan simulasi beberapa alternatif. Ini dilakukan oleh BPS berkoordinasi dengan Bappenas, berkonsultasi dengan DEN,” kata Arief kepada kumparan, Rabu (12/6).
Perubahan metode ini bukan pertama kali dilakukan di dunia. Menurut Arief, banyak negara telah merevisi standar garis kemiskinan mereka dalam beberapa tahun terakhir, seperti Malaysia pada 2018 dan Vietnam pada 2021. Hal ini dilakukan seiring meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan pola konsumsi yang ikut berubah.
ADVERTISEMENT
Arief menjelaskan, garis kemiskinan internasional yang direvisi Bank Dunia, dari USD 2,15 menjadi USD 3 untuk kemiskinan ekstrem, merupakan dampak dari tren global.
“Revisi garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia baru-baru ini dari USD 2,15 ke USD 3 juga disebabkan karena 70 persen negara acuan melakukan perubahan garis kemiskinan menjadi lebih tinggi. Semakin sejahtera, aspirasi masyarakat akan kemiskinan meningkat, pola konsumsi juga meningkat,” jelasnya.
Sementara Indonesia, terakhir kali memperbarui metode perhitungan garis kemiskinan pada tahun 1998. Sejak itu, pendekatan yang digunakan tetap sama, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN), yang mengukur pengeluaran minimum untuk makanan dan kebutuhan non-makanan seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Aturan baru pun juga masih akan menggunakan pendekatan CBN.
ADVERTISEMENT
Menurut Arief, perubahan metode saat ini bertujuan menyesuaikan diri dengan kondisi ekonomi terbaru, bukan mengikuti begitu saja garis kemiskinan versi Bank Dunia.
Dia menambahkan, versi Bank Dunia bisa dijadikan pembanding atau benchmark internasional, tapi Indonesia tetap akan menyusun metodenya sendiri.
“Kalau yang World Bank kita jadikan alternatif aja untuk melakukan benchmarking antarnegara. Seberapa miskin kita dibandingkan negara lain misalnya,” ungkapnya.
Adapun penyesuaian garis kemiskinan bisa mengubah jumlah penduduk yang dikategorikan miskin, yang pada juga mempengaruhi penyaluran bantuan sosial dan intervensi pemerintah lainnya.
Bank Dunia sendiri baru-baru ini mengganti metode global mereka, menggunakan PPP (Purchasing Power Parity) 2021 untuk menggantikan PPP 2017. Perubahan ini menaikkan ambang batas kemiskinan global, termasuk untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia menyebut bahwa dengan ambang baru USD 8,30 PPP per kapita per hari, tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 68,25 persen dari populasi. Namun angka ini tidak digunakan pemerintah karena berbeda standar dan tujuan.
Arief menargetkan, aturan baru ini rampung paling lambat akhir 2025. “Tahun ini paling lambat,” ujar Arief.