Pemerintah Setop Ekspor Nikel Akhir 2019, Bagaimana Nasib Penambang?

2 September 2019 15:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
ADVERTISEMENT
Pemerintah resmi melarang ekspor bijih nikel per 31 Desember 2019. Dengan begitu, per 1 Januari 2020 tak ada lagi bijih nikel yang dijual ke luar negeri, tapi harus diolah dulu menjadi feronikel di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Tujuan bijih nikel diolah dulu di smelter agar ada nilai tambah. Jika terus dijual mentah, cadangan akan habis, sementara devisa yang didapatkan tak besar.
Lantas bagaimana nasib para penambang nikel yang sudah dapat ekspor dari pemerintah?
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono mengatakan, bagi para penambang yang sudah dapat izin ekspor hingga bulan ini, bakal diberi waktu transisi selama empat bulan atau terhitung saat ini hingga akhir Desember 2019. Itu artinya, mereka yang sudah izin ekspor harus selesaikan jatahnya sebelum 1 Januari 2020.
"Jadi bagaimana kontrak-kontrak itu? Justru itu, maka kita beri tahun masa transisi itu 4 bulan sampai 31 Desember 2019, tidak begitu langsung diberi tahu langsung setop. Jadi ada waktu 4 bulan itu harus menyesuaikan semua," kata dia dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (2/9).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Kementerian ESDM, dari 2017 hingga Juli 2019, kuota bijih nikel yang diekspor mencapai 76,2 juta ton. Akan tetapi realisasinya jauh di bawah itu, yakni hanya mencapai 38,2 juta ton ton.
Rinciannya, kuota ekspor 2017 sebanyak 24,6 juta ton dan realisasi hanya 4,9 juta ton. Pada 2018, kuota ekspor 28,0 juta ton, realisasinya hanya 20,0 juta ton. Pada Juli 2019, kuota 23,6 juta ton dan realisasinya hanya 13,2 juta ton.
Tambang Nikel Milik PT Vale Indonesia Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Dengan realisasi ekspor nikel yang jauh dari kuota, Bambang mengatakan, sebaiknya memang bijih tersebut diolah di dalam negeri. Kata dia, smelter yang ada di Indonesia sudah banyak yang terbangun dan siap memurnikan bahan baku tersebut.
Saat ini ada 36 smelter di Indonesia, 11 di antaranya sudah dibangun dan siap beroperasi, sementara 25 smelter lainnya masih tahap pembangunan.
ADVERTISEMENT
"Kapasitas input untuk smelter yang terbangun bisa (mengolah) 81 juta ton hingga 2022," lanjutnya.
Adapun para penambang yang sedang membangun smelter, Bambang mengatakan, memang tak akan cukup jika mengandalkan uang dari biaya ekspor bijih nikel. Menurut dia, relaksasi yang diberikan sejak 2017 bahwa ekspor dibolehkan hingga 2022 itu sekadar memberikan tambahan kemudahan untuk membangun smelter.
"Saya dari awal 2017 mengatakan bahwa pembangunan smelter itu enggak bisa dibiayain dari ekspor apalagi kalau teknologinya (pakai yang lama), yang paling murah itu blast furnace. Kalau electric furnace mahal. Kalau andalkan ekspor, ya (smelter) enggak akan terbangun. Sehingga awalnya itu niatannya insentif (diberikan untuk) membangun tapi kalau membangun smelter itu (hanya andalkan uang dari ekspor ya) enggak cukup. Jadi itu ya namanya insentif, itu tambahan lah atau ekstra bonus," kata dia.
ADVERTISEMENT