Pemerintah Tak Bisa Hanya Andalkan Pajak Karbon untuk Kurangi Emisi

22 Oktober 2021 12:38 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Emisi Karbon Perkotaan Foto: Aly Song
zoom-in-whitePerbesar
Emisi Karbon Perkotaan Foto: Aly Song
ADVERTISEMENT
Pemerintah mulai 1 April 2022 resmi menerapkan pajak karbon sebagai bentuk implementasi ekonomi berkelanjutan. Yang pertama akan dikenakan pajak karbon yakni PLTU batu bara.
ADVERTISEMENT
Namun, tujuan penerapan pajak karbon untuk mengurangi emisi dinilai harus dibarengi dengan produksi beberapa sektor yang menghasilkan emisi, misalnya listrik. Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development INDEF Abra Talattov mengatakan, supply listrik yang berlebih juga menjadi penghasil emisi.
Seharusnya pemerintah, kata dia, harus bisa memproyeksikan konsumsi dan ketersediaan pasokan listrik. Dengan begitu emisi bisa dikurangi dari penyediaan listrik.
"Pajak karbon memiliki potensi dampak pada sektor kelistrikan khususnya PLTU, karena saat ini kondisinya existing kelistrikan kita ada surplus listrik. Jadi 9 tahun terakhir sektor kelistrikan kita surplus kurang lebih 25 persen," ujar Abra dalam diskusi virtual, Jumat (22/10).
Sehingga pengurangan emisi bukan hanya dari pajak karbon, tapi juga dari penyesuaian kegiatan yang menghasilkan emisi dengan kebutuhan pasar. Dia menyebut pajak karbon merupakan kebijakan di hilir. Sedangkan di hulu yaitu masing-masing sektor yang pemerintah harus bisa arahkan.
ADVERTISEMENT
"Artinya produksi dan kapasitas terpasang dari produksi listrik ini kan hasilkan emisi. Menurut saya fokus pemerintah bukan hanya menerapkan pajak karbon, tapi juga bagaimana meningkatkan demand konsumsi listrik supaya surplus menipis," jelasnya.
"Atau mengurangi target produksi listrik atau supply listrik di RUPTL. Ini juga memiliki dampak signifikan untuk kurangi emisi GRK dari sektor kelistrikan. Jadi bukan hanya di hilir pake pajak karbon, tapi di hulu pemerintah juga harus fokus memproyeksi supply listrik sesuai kebutuhan," lanjutnya.
Sementara dari masuknya pajak karbon sebagai sumber penerimaan baru, bukan hanya akan mengubah aktivitas ekonomi menjadi lebih hijau, tapi juga berdampak pada penerimaan negara.
"Adapun side effect dari penerimaan negara dari pajak karbon tentu bukan tujuan utama, tapi pemerintah dalam reformasi perpajakan kemarin bersamaan dengan reformasi perubahan kebijakan di sektor lain di luar pajak memiliki optimisme yang cukup tinggi," kata dia.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya reformasi pajak melalui UU HPP, yang di dalamnya termasuk pajak karbon, diharapkan di 2025 tax ratio Indonesia bisa meningkat jadi 10,12 persen.
"Tentu ini pendekatan rasio pajak dan penerimaan perpajakan juga disumbang salah satunya pajak karbon dan kita juga ingin tahu secara spesifik pasca adanya roadmap pajak karbon seberapa besar pertumbuhan pajak karbon dan kontribusi pajak karbon terhadap penerimaan perpajakan dalam negeri," tutupnya.