Pemerintah Targetkan Ratifikasi RCEP Selesai Pada Kuartal I 2022

31 Desember 2021 13:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan paparan saat Refleksi Capaian 2021 dan Outlook Ekonomi 2022. Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
zoom-in-whitePerbesar
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan paparan saat Refleksi Capaian 2021 dan Outlook Ekonomi 2022. Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
ADVERTISEMENT
Pemerintah menargetkan ratifikasi perjanjian dagang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) selesai pada kuartal I 2022. RCEP merupakan perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sepuluh negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan lima negara mitranya.
ADVERTISEMENT
Sesuai perjanjian, RCEP ini sedianya akan diimplementasikan per 1 Januari 2022. Beberapa negara telah melakukan ratifikasi untuk perjanjian ini. Untuk itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, memastikan ratifikasi di Indonesia akan dikebut pada kuartal I 2022.
“Diharapkan di kuartal I sudah bisa dibawa ke rapat paripurna DPR sehingga dikeluarkan pertama ini RCEP sudah bisa diratifikasi,” ujar Airlangga dalam konferensi pers virtual, Jumat (31/12).
Dengan belum diratifikasinya RCEP ini maka konsekuensinya Indonesia belum bisa mengimplementasikan RCEP per 1 Januari. Nantinya setelah proses ratifikasi di DPR lalu masuk ke rapat paripurna, berkas kemudian akan diserahkan ke Presiden untuk kemudian diundangkan oleh pemerintah.
“Konsekuensinya adalah kita tidak berlaku 1 Januari tapi berlaku setelah setelah diratifikasi DPR. Jadi siklusnya demikian. Jadi diharapkan dalam waktu dekat ini bisa ratifikasi,” ujar Airlangga.
Ilustrasi ekspor cangkang sawit. Foto: FB Anggoro/Antara Foto
Adapun negara yang sudah meratifikasi RCEP dan siap mengimplementasikan per di 1 Januari 2022 yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Thailand, Singapura, Vietnam dan Myanmar. Sementara negara mitra yang akan mengimplementasi yaitu China, Jepang, Australia, New Zealand dan Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Menurut Airlangga dengan adanya RCEP ini maka perdagangan Indonesia akan memiliki pangsa pasar yang lebih luas. Menurut Airlangga hal tersebut akan menguntungkan Indonesia apalagi saat ini terjadi lonjakan permintaan perdagangan luar negeri.
“Dan tentu melancarkan demand ini bisa dimanfaatkan oleh Indonesia terutama dengan RCEP ini hambatan itu bisa dikurangi di masing-masing negara,” ujarnya.
Seperti diketahui, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) merupakan perjanjian terbesar di dunia yang ditandatangani pada 15 November 2020 lalu. Perjanjian ini masih perlu proses ratifikasi sebelum akhirnya diberlakukan.
Perjanjian terdiri dari 10 negara ASEAN yakni Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam. Serta lima negara mitranya yakni China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
ADVERTISEMENT
Perjanjian dagang menjadi terbesar karena secara global mencakup 30,2 persen Produk Domestik Bruto (PDB), 29,8 persen investasi asing langsung (FDI), 29,6 persen penduduk. dan 27,4 persen perdagangan dunia.
Ada beragam manfaat yang bisa di dapat Indonesia dari perjanjian tersebut. Di antaranya, para pelaku usaha nasional hanya perlu menggunakan satu macam Surat Keterangan Asal (SKA) untuk bisa mengekspor produknya ke seluruh negara anggota RCEP.
Kemudian, untuk produk yang sama, sepanjang memenuhi origin kriteria yang diatur dalam RCEP, pengusaha Indonesia cukup mengantongi SKA RCEP untuk mengekspor satu produk ke semua negara RCEP.
Sehingga ketika mengekspor produk ke negara-negara RCEP, eksportir tidak perlu lagi menggunakan SKA yang berbeda-beda sesuai barang dan negara tujuannya. Jika peluang ini dimanfaatkan dengan optimal, maka kinerja ekspor Indonesia ke pasar global akan terkerek.
ADVERTISEMENT
Adapun manfaat lainnya yakni spill-over effect. Dengan memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas yang dimiliki anggota RCEP dengan anggota non-RCEP, produk Indonesia juga dapat mengambil kesempatan untuk memanfaatkan skema preferensi ke negara-negara non-RCEP.