Pemicu Industri Mebel RI Tertinggal: Upah Tinggi hingga Regulasi

27 November 2019 10:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Barang hasil produksi pabrik Furnitur milik Minh Duong Furniture di Ho Chi Min City, Vietnam, Senin (25/11). Foto: Abdul Latif/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Barang hasil produksi pabrik Furnitur milik Minh Duong Furniture di Ho Chi Min City, Vietnam, Senin (25/11). Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Para pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) saat ini hanya bisa berharap agar pemerintah segera melakukan revisi regulasi-regulasi yang menghambat industri furnitur. Sebab, saat ini industri furnitur atau mebel dalam negeri semakin tertinggal dengan negara-negara tetangga, salah satunya Vietnam.
ADVERTISEMENT
kumparan bersama rombongan Himki berkesempatan mengunjungi industri mebel di Ho Chi Min City Vietnam. Di sini, kumparan dan Hipmi belajar soal pengelolaan industri mebel di negara tetangga Indonesia itu.
Sekretaris Jenderal Himki, Abdul Sobor mengatakan, ada beberapa regulasi yang membuat industri furnitur dalam negeri jalan di tempat. Salah satu regulasi yang paling disorot adalah soal upah tenaga kerja.
Upah minimum para pekerja di Vietnam sekitar Rp 2,8 juta hingga Rp 3,5 juta per bulan. Sementara untuk para pekerja di Indonesia sebenarnya tidak jauh beda yaitu sekitar Rp 3,6 juta bahkan bisa di atas Rp 4 juta per bulan.
"Di Indonesia, upah di daerah berbeda-beda. Tenaga kerja di Indonesia lebih mahal dibanding di sini (Vietnam). Padahal di Indonesia mereka (pegawai) bekerja selama 40 jam per minggu. Sementara di Vietnam mereka bekerja selama 48 jam per minggu," katanya saat ditemui di kawasan Ho Chi Minh, Vietnam, Rabu (27/11).
Suasana pabrik Furnitur milik Minh Duong Furniture di Ho Chi Min City, Vietnam, Senin (25/11). Foto: Abdul Latif/kumparan
Berdasarkan data Himki pada tahun lalu kinerja ekspor sektor furnitur Indonesia hanya sekitar USD 1,7 miliar. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding Vietnam yang telah mencapai USD 9,3 miliar.
ADVERTISEMENT
Padahal Presiden Jokowi menargetkan ekspor furnitur mencapai USD 5 miliar. Hingga saat ini ekspor furnitur Indonesia belum pernah mencapai USD 2 miliar.
Selain itu, pria yang akrab dipanggil Sobor ini menuturkan regulasi mengenai penerbitan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang sangat rumit dan membutuhkan waktu yang sangat lama. SVLK ini berfungsi sebagai salah satu persyaratan untuk ekspor.
"Di Vietnam hanya sekali saja verifikasi mengenai penerbitan SVLK. Tetapi di Indonesia harus melakukan verifikasi sebanyak 3 kali. Belum lagi harus melengkapi 60 item persyaratan. Ini membutuhkan waktu berbulan-bulan," jelasnya.
Suasana pabrik Furnitur milik Minh Duong Furniture di Ho Chi Min City, Vietnam, Senin (25/11). Foto: Abdul Latif/kumparan
Menurutnya, persyaratan tersebut membuat kinerja ekspor furnitur dalam negeri semakin tertinggal. Bahkan dalam catatannya, Himki merekomendasikan supaya pemerintah menghapuskan mandatori SVLK.
ADVERTISEMENT
"Kan tidak sesuai dengan semangat membangun pertumbuhan industri berbasis kayu di hilir. Verifikasi cukup satu saja, saat di hulu kan kayu sudah terverifikasi," imbuhnya.
Menurutnya, pemerintah saat ini perlu mempertimbangkan persoalan industri furnitur. Sebab, industri ini merupakan salah satu sektor yang banyak menyerap tenaga kerja.
Jika regulasi-regulasi masih saja sama, maka pertumbuhan industri dalam negeri akan semakin melambat dan jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga.
"Orang asing mau investasi di sini kan enggak mau," jelasnya.